Lihat ke Halaman Asli

Kisah Senja

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selamat sore menjelang senja, hanya bagi mereka yang bisa memaknainya.


Aku mulai suka memandang langit sore berwarna jingga, ada ataupun kau tiada. Tanpa kata dan suara, aku hanya butuh udara dan senja. Warna biru langit yang bercampur dengan warna jingga seperti ini sudah cukup bagiku. Cukup untuk mengendurkan urat-urat syarafku yang menegang seharian ketika segala persoalan datang menghujam. Ah... sore ini tanpamu, tapi tak mengapa.

Dibarat, langit sudah mulai nampak semburat. Matahari yang dengan garang memancarkan sinarnya sepanjang siang, juga nampak mulai enggan. Sinarnya yang panas menyengat kini mulai berganti hangat. Saat-saat seperti ini aku selalu teringat akan kita. Saat kita melewati senja bersama.

Biasanya kau hanya akan duduk disitu memandangi langit yang berwarna jingga itu tanpa kata, tanpa suara. Kalau sudah begitu aku hanya akan menyajikan secangkir teh panas beraroma melati dan sepiring singkong goreng, lalu duduk disebelahmu, memandangi wajahmu yang tersenyum damai memandangi langit senja.

Kau dan senja seolah punya cerita. Bahkan mungkin cerita yang mengikat engkau dengan sangat erat. Tapi aku cukup bahagia melihatmu begini saja. Entah sudah berapa senja kita lewati bersama. Yang pasti ketika pekerjaan sedang tidak cukup menantang kau akan selalu pulang sebelum senja datang untuk melakukan hal yang sama. Duduk disitu dan memandanginya. Senja.

Sore ini aku mencoba melakukan hal yang sama. Duduk disitu, ditempat yang biasanya engkau duduki. Mencoba merasakan apa yang engkau rasa dan melihat apa yang engkau lihat sebenarnya. Apa yang sebenarnya membuatmu ingin cepat-cepat pulang dan menikmati senja bersama.

Aku memandang lurus ke langit senja yang tepat berada di depanku sore ini. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Merasakan setiap mili oksigen yang masuk melalui kedua lobang hidungku, melewati tenggorokan dan masuk ke dalam paru-paru, memenuhi seluruh rongganya dan membuat lega. Sepoi angin meniup jatuh daun-daun kering di musim kemarau yang panjang ini. Sesekali juga membelai wajahku dengan lembut. Mataku mencoba terpejam merasakan apa yang sebenarnya kau rasakan.

Perlahan kubuka mataku, dan melihat warna jingga itu. Semburatnya seperti menggambarkan semburat lekuk wajah tampanmu yang selalu tersenyum penuh damai disampingku kala senja itu. Aku tersenyum seolah membalas senyum manismu itu.

Aku memejamkan mataku lagi dan kembali merasakan belaian lembut sang angin sore ini. Lalu aku buka kembali mataku dan kulihat kita tertawa bersama, bercanda dan bercerita. Kembali aku tersenyum. Dan seperti diputar kembali sebuah drama kisah kita yang penuh suka dan duka.

Ah... jadi ini yang membuatmu sangat menyukai senja. Kau bisa melihat apapun yang sedang ingin kaulihat, merasakan apapun yang kau ingin rasa dan itu sudah cukup membuatmu berbahagia.

Senja kali ini tanpa hadirmu. Tapi aku cukup bahagia walau hanya sekedar merindu. Ah... sudahlah. Tak usah kau ragu, lakukan saja tugasmu. Pasti aku akan selalu menunggu. Aku yakin disana juga ada senja. Senja yang bisa kita beri makna, meskipun kita tak sedang bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline