Lihat ke Halaman Asli

Obrolan Warung Kenaikan BBM: Orde Baru vs Orde Reformasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Koen sik iling jaman e Pak Harto?, pegawai negeri mesti nek sambat...pegawai negeri bayaran piro? Isok mangan ae wis sukur, pokok e oleh pensiun” (artinya: Kamu masih ingat jamannya Pak Harto?, PNS selalu mengeluh,....Pegawai Negeri gajinya berapa sih? Bisa makan saja sudah syukur, yang penting dapat pensiun)

Ucapan itu tercetus dari omongan seorang tukang becak yang duduk sebangku dengan saya saat di sebuah warung kopi  pinggir jalan protokol di Surabaya. Awalnya sih mereka hanya memperbincangkan sebuah headline di sebuah media massa mengenai kenaikan BBM mendatang. Saya merasa duduk dalam sebuah talk show televesi yang berdiskusi mengenai makro ekonomi Indonesia. Jangan dipandang profesi mereka yang duduk di situ atau tingkat pendidikan mereka yang rata-rata tak sampai SMA.

Tukang becak yang dijuluki “Bondet” oleh pemilik warung kopi ini bertutur, jika saat era orde baru kenaikan harga BBM sudah biasa dan bukan barang yang menghebohkan seperti saat ini. Baginya, mengapa saat ini rasanya orang-orang sangat “lebay” menghadapi kenaikan harga BBM. “Nek awakmu mbiyen tuku sempak rego limang ewu oleh telu, sampek saiki mosok yo regone sak munu,” tegas Bondet kepada teman seprofesinya, saya dan pemilik warung. Artinya, jika kamu dahulu membeli celana dalam seharga Rp.5000 dapat 3 potong, apakah sampai saat ini harganya juga segitu?.

Jelas tertawa terbahak, ketika Pak Bondet yang jumlah giginya bisa dihitung ini mengeluarkan komentar tersebut. Namun, apa yang dikatakannya pun ditepis oleh pemilik warung. Menurutnya, stabilitas ekonomi saat orde baru sangat stabil, meski ada kenaikan namun tak ada orang yang terlihat sangat kaya sekali dan juga tak ada orang yang sangat miskin sekali hingga makan nasi basi (kecuali, orang gila). Sebagai sarjana ekonomi, saya mengartikan ini adalah disparitas ekonomi saat orde baru sangat baik. Pemerataan pendapatan bukan berarti semua berpendapatan sama, tapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya masing-masing.

“Mulai aku marung nang kene tahun 80, nek ono bensin mundak terus maringunu  gulo mundak opo lengo jlantah mundak, aku ga kangelan dodol...sing tuku yo gak nggremeng koyok rai mu Ndet,” kata pemilik warung tersebut. Itu berarti, sejak tahun 1980, meski ada gejolak  kenaikan harga BBM yang menyebabkan harga gula naik begitu juga minyak goreng, pemilik warung sama sekali tidak kesulitan menjual karena harga yang dijual ikutan naik, pelanggan seperti Pak Bondet pun tidak menggerutu akibat kenaikan harga tersebut.

Pak Bondet pun bercerita kembali mengenai para aparatur negara. Ia begitu mengelus dada, ketika melihat seorang oknum aparatur negara kerjanya hanya nongkrong di warung ini. Pak Bondet kecewa, ia merasa sudah membayar PBB di tempat tinggalnya, belum lagi retribusi untuk angkutan becaknya yang ia tarik, dan masih banyak pajak yang sama sekali Pak Bondet belum tahu apa fungsi ia dikenai pajak. “Lha mosok aku saiki ngopeni aparat sing ongkang-ongkang nang warung pas jam kerjo? Gak kuwalik ta? (artinya: Lha masak saya harus memelihara aparat negara yang duduk santai di warung? Apa todak terbalik?),” tegas Pak Bondet kesal.

Pemilik warung itu mengamini apa pernyataan Pak Bondet ini. Ia pun memberi ide bagaimana jika anggaran rutin untuk membayar aparatur negara dipangkas untuk menutupi subsidi yang ditarik pemerintah tersebut? Saya terhenyak, bagaimana pemilik warung ini bisa berpikir ala ekonom layaknya Anggito Abimanyu? Saya pun bertanya, mengapa ia bisa menjawab seperti itu? Apakah karena sering melihat analisis ekonomi di televisi? Lalu, Pak Bondet pun menjawab, “Lho, yok opo sampeyan iku mas....Masiyo marung, anak e yo nang Universitas Indonesia kono?” (lho, bagaimana anda itu mas....meski buka warung , anaknya juga ada di Universitas Indonesia sana?)

“Wah, njupuk jurusan ilmu ekonomi ta cak? (wah, ambil jurusan ekonomi juga?),” tanyaku kepada pemilik warung. Tapi malah Pak Bondet yang menjawab, “Yo buka warung kopi pisan nang Depok sak durunge dalan nang UI kono (Ya, membuka warung kopi juga di daerah Depok jalanan menuju ke UI),”. Jawaban itu sangat mengesalkan pemilik warung sebenarnya, tapi apa daya bagi dia, memang Pak Bondet orangnya tanpa kompromi jika membuat jokes layaknya stand-up comedy di televisi.

Biasalah nek ajange kampanye biasane lak ono undak-undakan bensin...mbiyen lak ngunu pisan (biasa, ketika mau kampanye kan biasanya ada kenaikan harga bensin, ...dahulu kan begitu juga)” ujar sabar pemilik warung setelah dihina Pak Bondet. Ungkapan bau politis dalam kenaikan harga BBM ini juga disinggungnya. Bagi rakyat kecil seperti pemilik warung ini, pengendalaian harga BBM mungkin nanntinya dijadikan ajang program buat kampanye calon presiden. “Wis ta lah, sing penting engko oleh kaos....lha lapo nggacor program kampanye....kemeruh koen iku!! (sudahlah, yang penting kan dapat kaos...buat apa ngobrol soal program kampanye...sok tahu kamu)”, bondet pun menyahut perkataan.

Saya pun tak sabar ikut berbicara. Rasanya saya tak mau kalah dengan ekonom-ekonom “banyolan” ini. “Negoro kene iki sik akeh produksi lengone...nang Kalimantan, Tuban, nang deso ne Pak Bondet nang Bojonegoro yo onok. Tapi opo’o sik larang...kudune lak murah? Pancen wayahe wis an rego minyak mundak (Negara kita masih banyak produksi minyaknya. Tapi kenapa kok harga masih mahal...harusnya kan murah? Memang sudah waktunya harga minyak naik),” kataku tak mau kalah bicara. Memang saudah waktunya mengahpus subsidi yang sebagian besar dinikmati pemilik mobil mewah.

Wis-wis...arek cilik melok ae awakmu (sudah-sudah, anak kecil ikutan saja),” olok Pak Bondet kepadaku. Pikirku, meski masih aku masih kecil, tapi aku sudah bisa buat anak kecil lho. “Sing penting mari ngene jare ne ono BLT-an koyok kapanane, (yang terpenting setelah ini katanya ada Bantuan Langsung Tunai /BLT seperti yang lalu,” sambungnya. Tak seberapa lama berucap, Pak Bondet bergumam pada kita, “Tapi opo yo cukup gawe ngopeni bojo loro? (tapi apa ya cukup buat memelihara dua istri?,” ucapnya yang mebuat sontak kita semua terpingkal.

Mangkane ta Ndet, wis ndang nggolek penumpang....ilingo ngopeni bojo loro (Makanya Ndet, segeralah cari penumpang..ingat istrimu ada dua),” kata pemilik warung sambil tertawa. Lalu aku pun terhenyak dari tempat duduk ku dan mengambil dompet untuk membayar semua makan dan minumku. “Wis kono le, awakmu yo lapo mbiyen demo ngganti Pak Harto...nggarai kisruh ae,(sudah sana nak, kamu juga ngapain dahulu demonstrasi menggulingkan Pak Harto...membuat kisruh saja),” katanya sambil mendorong becak lalu menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline