Lihat ke Halaman Asli

Legalitas Penggunaan Morfin dalam Perawatan Paliatif di Indonesia

Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Canva.com

Oleh: Anggela Yulia Putri Tarigan (Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)

Perawatan paliatif. Merupakan salah satu perawatan yang berfokus pada meringankan gejala pasien penyakit terminal dengan cara memaksimalkan kualitas hidup pasien, memperhatikan aspek psikologis dan spiritual pasien dan keluarganya. Menurut World Health Organization (WHO) Perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses normal, tidak mempercepat atau menunda kematian, menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual. Mayoritas orang yang membutuhkan perawatan paliatif yakni diperuntukkan bagi penderita penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis, AIDS dan diabetes. Fokus utama dalam perawatan paliatif adalah mengurangi penderitaan melalui penanganan nyeri dan gejala lain, serta memberikan dukungan psikososial dan spiritual.

Dalam dunia medis, morfin telah lama diakui sebagai obat penghilang rasa sakit yang sangat efektif untuk penanganan nyeri kronis. Morfin bekerja dengan mengikat reseptor opioid di sistem saraf pusat, secara signifikan menekan persepsi nyeri dan meningkatkan ambang rasa sakit. Dalam perawatan paliatif, morfin diindikasikan terutama untuk mengatasi nyeri berat yang tidak responsif terhadap analgesik lain, seperti pada kasus nyeri kanker stadium lanjut, nyeri pasca operasi berat, atau nyeri akibat penyakit degeneratif yang progresif. Selain itu, morfin juga digunakan untuk mengendalikan gejala lain seperti sesak napas pada pasien dengan penyakit paru-paru terminal, meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien di fase akhir kehidupan mereka. Meskipun efektivitas morfin tidak perlu dipertanyakan lagi, penggunaannya memiliki risiko dan efek samping yang harus dipertimbangkan, penggunaan morfin membawa risiko dan efek samping yang perlu diwaspadai. Efek samping yang umum meliputi sembelit, mual, kantuk, dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pernapasan. Risiko yang lebih serius mencakup potensi ketergantungan fisik dan psikologis, terutama jika digunakan dalam jangka panjang atau dosis yang tidak terkontrol. Oleh karena itu, penggunaan morfin dalam perawatan paliatif juga memerlukan evaluasi klinis yang cermat, pemantauan ketat, dan penyesuaian dosis yang hati-hati untuk menyeimbangkan manfaat pengendalian nyeri dengan risiko efek samping, sambil tetap menjaga kualitas hidup pasien sebagai prioritas utama.

Di Indonesia, penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 53 yang menyatakan “…dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Penggolongan narkotika tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2022 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika yang mengklasifikasikan morfin sebagai narkotika golongan II. Meskipun termasuk zat yang diawasi ketat, undang-undang ini memuat ketentuan khusus yang memungkinkan penggunaan morfin untuk keperluan medis, khususnya dalam konteks perawatan paliatif.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi lebih lanjut mengatur prosedur legal untuk peresepan dan distribusi morfin. Dimana Penyerahan Narkotika oleh dokter kepada pasien hanya dapat dilakukan dalam hal:

  • dokter menjalankan praktik mandiri dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
  • dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
  • dokter praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peresepan morfin juga harus menyesuaikan dengan peresepan maksimal yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/2197/2023 Tentang Formularium Nasional. Dimana penggunaan morfin hanya diperkenankan untuk pemakaian pada tindakan anestesi atau perawatan di Rumah Sakit dan untuk mengatasi nyeri kanker yang tidak respons terhadap analgesik non narkotik atau nyeri pada serangan jantung. Dan pendistribusian morfin hanya boleh dilakukan oleh apotek atau rumah sakit yang memiliki izin khusus, dengan pencatatan dan pelaporan yang ketat kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Kesehatan. Serangkaian prosedur ini bertujuan untuk memastikan akses yang sah bagi pasien yang membutuhkan.

Dalam konteks perawatan paliatif dan pengelolaan nyeri kronis, penanganan nyeri yang tidak memadai tidak hanya melanggar hak pasien, tetapi juga dapat berdampak negatif pada kualitas hidup, pemulihan, dan bahkan hasil pengobatan secara keseluruhan. Dalam kerangka hak-hak tersebut, prinsip otonomi pasien memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan pengobatan. Otonomi pasien menekankan bahwa individu memiliki hak untuk membuat keputusan tentang perawatan mereka sendiri berdasarkan informasi yang lengkap dan pemahaman yang jelas tentang opsi pengobatan yang tersedia. Dalam kasus penggunaan opioid untuk manajemen nyeri, pasien harus diberikan informasi komprehensif tentang manfaat dan risiko potensial, termasuk kemungkinan ketergantungan. Proses pengambilan keputusan bersama antara pasien dan tenaga kesehatan menjadi kunci dalam menghormati otonomi pasien sambil memastikan keputusan yang diambil adalah yang terbaik untuk kesehatan pasien.

Kesimpulannya, sejauh ini legalitas penggunaan morfin dalam perawatan paliatif di Indonesia mencerminkan keseimbangan yang kompleks antara kebutuhan medis dan regulasi ketat terhadap zat narkotika. Undang-Undang Narkotika dan peraturan turunannya mengakomodir penggunaan morfin dalam manajemen nyeri pada perawatan paliatif, sambil menetapkan batasan dan prosedur yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Kerangka hukum ini memungkinkan akses terhadap morfin untuk pasien yang membutuhkan, terutama dalam kasus nyeri kanker yang tidak responsif terhadap analgesik lain atau dalam situasi darurat medis. Namun, penggunaannya dibatasi pada lingkungan yang terkontrol seperti rumah sakit dan di bawah pengawasan ketat tenaga medis berwenang. Pendekatan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara hak pasien untuk mendapatkan penanganan nyeri yang adekuat, prinsip otonomi dalam pengambilan keputusan pengobatan, dan tanggung jawab negara dalam mengontrol peredaran narkotika. Meskipun regulasi yang ada bertujuan untuk memastikan penggunaan morfin yang aman dan bertanggung jawab, tantangan tetap ada dalam memastikan akses yang memadai bagi semua pasien yang membutuhkan perawatan paliatif, sambil tetap menjaga keamanan publik dan mencegah potensi penyalahgunaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline