Lihat ke Halaman Asli

Negara Pencitraan Republik Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir tiap hari kita mendengar istilah "politik pencitraan" di media. Semua tindakan yg dilakukan oleh para pejabat kita, tak lebih dari sekedar pencitraan, dan tak pernah sungguh-sungguh.

Kalau ditelaah, benarkan pencitraan itu monopoli pemerintah? Apakah masyarakat Indonesia nggak melakukan pencitraan?

Buat saya, pencitraan itu udah jadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Mau yg tinggal di pedesaan, apalagi yang tinggal di kota-kota besar. Pencitraan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yg sayangnya, lebih banyak bener-bener cuma polesan diluar, tanpa isi di dalam.

Kalau ada yg tanya mengenai pencitraan, mungkin salah satunya adalah penggunaan barang palsu. Kita bisa lihat di pusat-pusat grosir, bagaimana barang-barang palsu bertebaran. Demi alasan "gengsi" maka hak atas kekayaan intelektual diabaikan. Kalau nggak percaya, coba lihat jalanan di sekitar kita, berapa banyak dari orang-orang yg membawa barang palsu?

Buat saya pribadi, ga adil rasanya kalo kita cuma menuduh pemerintah melakukan pencitraan, sementara kita sendiri dimaklumi untuk melakukan hal seperti itu. Kalau dibilang nggak merugikan, coba dilihat, bagaimana kedepannya? Apa dampak negatif yg ditimbulkan dari pencitraan? Bayangkan jika barang palsu bertebaran, tidak memenuhi standar keselamatan/kesehatan yang seharusnya, bisa memberi dampak buruk ke kesehatan anda kedepan kan? Kalau anda tidak peduli hal itu, kenapa anda tidak bunuh diri sekarang?

Di tingkat kehidupan sehari-hari, bayangkan jika seseorang mencitrakan dirinya sebagai seorang pemuka agama, lalu memanfaatkan pencitraan itu untuk kepentingan dirinya, apakah anda yakin tidak akan ada orang lain yang dirugikan?

Buat saya, pencitraan di Indonesia telah menimbulkan perpecahan kelas sosial. Bagaimana orang yang kaya mencitrakan diri kaya, sehingga enggan melakukan pekerjaan remeh-temen, seperti membuang sampah dan antri. Membiarkan pencitraan sebagai kerabat dekat seorang yang berpengaruh, bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Bahkan pada taraf yang buruk, pencitraan terhadap sebuah agama, yang cuma dilihat dari kulitnya, membuat orang melupakan apa esensi agama itu sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline