Berbagai wacana kembali mengemuka untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Mulai dari penggantian sistem 3 in 1 ke Electronic Road Pricing seperti di Singapura, hingga wacana menaikkan tarif parkir untuk menekan penggunaan mobil pribadi.
Bagi saya lucu, karena sebenernya ini akan menimbulkan masalah baru. Mari kita telaah satu-satu dari kacamata saya yang awam ini.
Electronic Road Pricing (ERP). Sebuah sistem dimana mobil akan dipasang alat sensor dengan kartu yang memiliki saldo tertentu, yang nilainya akan otomatis berkurang jika melewati suatu ruas jalan. Sistem ini sudah umum dipergunakan di Singapura. Hampir semua mobil dan motor disana (yang pernah saya tumpangi) sudah menggunakan alat ini untuk melewati jalan yang terpasang sistem ERP. Tapi penerapan ERP di Jakarta tentu jauh lebih rumit dibanding Singapura.
1. Wilayah dan Jumlah Mobil. Di Indonesia, dengan wilayah yang beratus-ratus kali lebih besar dari singapura, tentu akan kesulitan. Bagaimana jika mobil dari luar daerah ingin melintas jalan ber-ERP? Mereka belum tentu punya alatnya. Beli saat awalpun akan sia-sia karena belum tentu dipergunakan juga. Hal ini akan menjadi kesulitan tersendiri.
2. Administrasi. Jika mendapatkan denda karena saldo di kartu ERP kurang, bagaimana sistemnya? Dengan parahnya sistem administrasi di Indonesia, bakalan banyak yang cuek aja tidak membayar dendanya. Atau lebih parah, orang yang nggak tau apa-apa tiba-tiba bisa kena denda. Hal ini harusnya diperhatikan sebelumnya.
Sementara itu, wacana naiknya tarif parkir buat saya lebih lucu lagi. Dengan alasan menekan warga untuk menggunakan mobil pribadi. Well.. tentu warga akan enggan menggunakan kendaraan pribadi, apabila sistem transportasi massal di Jakarta sudah beres. Lha hingga sekarang, proyek trans jakarta sudah nggak karuan. Jadwal bus yang tidak sesuai, jalur baru yang tidak kujung berjalan. Kalau moda transportasi umum lainnya, ga perlulah disebutkan. Semua orang juga sudah tau betapa buruknya kualitas mereka di Jakarta.
Buat saya, yang ga ahli di bidang transportasi, sudah bisa melihat, bahwa pemegang kebijakan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Darat DKI Jakarta, sudah bertindak sembrono tanpa berpikir panjang. Terlihat bahwa orang-orang yang ada disitu cenderung main "aman" tanpa berpikir panjang.
Satu hal yang patut mereka coba mungkin para pembuat kebijakan tersebut harus merasakan bepergian tanpa angkutan umum. Apabila Fauzi Bowo mau ke kantor dengan bus, mungkin masyarakatnya akan mengikuti langkah tersebut. Namun jika beliau masih dengan kendaraan pribado (+pengawal), jangan harap warga Jakarta akan menerima wacana-wacana tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H