Lihat ke Halaman Asli

Wacana (Lama) Konsolidasi Bank BUMN, antara “Egoisme Merek” dan Kepentingan Nasional

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan diberlakukan tahun 2015 ini akan membawa banyak perubahan di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Sekilas mungkin kita bayangkan bahwa ini hanya akan berdampak hanya pada aspek ekonomi saja, namun teori ekonomi deterministik membuktikan bahwa segala sesuatu pasti tujuannya tidak jauh dari urusan “perut” atau urusan memenuhi kebutuhan hidup, yang berarti juga tujuan ekonomi. MEA akan membuat batas antar negara menjadi kabur, yang berarti bahwa banyak faktor ekonomi baik itu berupa modal maupun tenaga kerja yang bisa keluar masuk suatu negara (di ASEAN) tanpa hambatan, yang artinya bahwa kita harus siap untuk bertarung secara langsung dengan modal dan tenaga kerja asing, dalam hal ini adalah modal dan tenaga kerja dari negara ASEAN.

Sektor keuangan menjadi salah satu sektor yang akan merasakan dampak MEA, dan oleh karena itulah perbankan mau tidak mau menjadi sektor turunan yang akan mengalami dampak atas penerapan MEA karena perbankan merupakan pilar penting dalam sektor keuangan dan pilar dalam sektor ekonomi pada umumnya. Namun, perbankan masih bisa “sedikit bernafas” karena MEA baru akan mulai diterapkan dalam sektor keuangan pada tahun 2020, artinya masih ada sedikit waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan besar MEA itu.

Salah satu strategi yang digagas Pemerintah untuk sektor perbankan Indonesia dalam menghadapi MEA adalah wacana konsolidasi bank BUMN, terutama Bank Mandiri dan BNI. Wacana ini sebenarnya sudah menjadi isu hangat di kalangan bankir sejak 2006 namun tidak terdengar lagi bagaimana perkembangan wacana tersebut hingga Menkeu Bambang Brojonegoro mengangkat lagi rencana itu baru-baru ini. Sebelumnya Menteri BUMN Dahlan Iskan sempat ngotot mendorong Bank Mandiri untuk mengakuisisi BTN, namun akhirnya berujung kegagalan karena banyaknya protes terutama dari Serikat Pekerja BTN.

Melihat struktur permodalan bank yang akan menjadi saingan bank lokal saat penerapan MEA nanti, maka konsolidasi bank BUMN bisa menjadi salah satu solusi. Ingat, salah satu solusi, bukan satu-satunya solusi. Memang, asset dan modal tidak serta merta menjadi faktor yang menentukan kemampuan bank dalam bersaing, namun mencoloknya jumlah asset dan modal bank ASEAN dibanding dengan bank dalam negeri perlu menjadi perhatian. Asset dan modal bank akan menentukan besarnya pembiayaan yang dapat dikucurkan oleh bank. Tingginya kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur kedepan dapat lepas dari genggaman bank dalam negeri dikarenakan terbatasnya modal dan asset yang dimiliki. Tidak menutup kemungkinan peluang pembiayaan-pembiayaan infrastruktur yang besar akan jatuh ke tangan bank ASEAN yang secara modal dan asset lebih kuat. Padahal pendapatan bunga masih menjadi soko guru profitabilitas perbankan, sehingga ketika perbankan tidak dapat meningkatan pembiayaannya secara signifikan maka profitabilitas bank tersebut bisa stagnan atau bahkan menurun.

Kembali pada strategi konsolidasi perbankan, jika tidak dilihat secara utuh dan komprehensif, strategi ini memang cenderung terlihat seperti mengorbankan salah satu atau beberapa bank yang dianggap lebih lemah untuk didominasi atau bahkan “dilahap” oleh bank yang lebih besar. Namun, melihat beratnya tantangan perbankan Indonesia saat penerapan MEA nanti, maka mari kita melihat ini sebagai sebuah strategi untuk kepentingan nasional, bukan hanya untuk bisnis perbankan sendiri. Mari menggeser ini menjadi isu nasional, bukan isu peperangan merek semata.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap bank memiliki sejarah dan cerita sendiri yang tidak akan bisa dikonsolidasikan, sejarah bank A akan tetap menjadi sejarah bank A ketika bank itu telah diakuisisi oleh bank lain atau bahkan ketika bank itu telah tiada. Sejarah tidak dapat disatukan, selalu memiliki jalannya masing-masing. Namun, ketika kita melihat perbankan ini sebagai sebuah alat bagi kepentingan nasional, bukankan kita seharusnya memiliki sejarah dan cerita yang sama?? Sejarah dalam membangun negeri sejak merdeka hingga kini, bukankah seharusnya sejarah itu sama? Sejarah pembangunan Indonesia, bukankah seharusnya seperti itu?? Maka dari itu, penting untuk melihat isu konsolidasi ini sebagai salah satu cara untuk menyelamatkan perbankan Indonesia dari terkaman bank asing yang akan masuk saat penerapan MEA pada 2020 nanti. Kita perlu untuk bahu membahu, bergotong royong, mengesampingkan egoisme merek perbankan satu dengan yang lainnya, untuk bersatu padu bersaing menghadapi MEA. Bahu membahu, bergotong royong dan bersatu padu, ya, ini memang tidak semudah mengatakannya, namun ketika kita menggunakan kacamata yang sama, kita punya peluang besar untuk dapat melakukan itu, dan kacamata yang harus kita pakai adalah kacamata kepentingan nasional bangsa Indonesia.

Seperti saya sampaikan didepan, bahwa konsolidasi ini bukan menjadi satu-satunya solusi. Perlu juga bagi pembuat kebijakan memberi kesempatan bagi seluruh perbankan BUMN dan stake holders untuk didengar suaranya. Misalnya, pendapat Dirut BNI yang menyatakan bahwa BNI dan bank BUMN lain tetap bisa bersaing dengan bank ASEAN tanpa perlu konsolidasi. Pendapat ini tentunya perlu untuk didalami terutama oleh Kementrian BUMN agar bisa diukur skala dan potensi bisnis yang diyakini oleh BNI tersebut. Apakah potensi yang diyakini tersebut realistis atau tidak untuk diraih. Selain itu, pembentukan holding company untuk sektor perbankan bisa jadi menjadi alternatif solusi yang sama manjurnya namun tidak terlalu mengguncang para pihak yang terlibat, seperti kesuksesan pembentukan holding company perusahaan semen melalui Semen Indonesia pada 2012 yang saat ini bisa kita lihat hasilnya.

Pada akhirnya, kebijakan apapun selalu menimbulkan pro dan kontra, selalu ada pihak yang tidak setuju dan yang mendukung. Seperti kata pepatah, anda tidak bisa menyenangkan semua orang. Namun alangkah baiknya setiap kebijakan yang akan diambil dihitung untung dan ruginya. Bukan hanya untuk perbankan semata, tapi untuk Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, yang tidak akan rela menjadi kuli bagi bangsa lain, di negerinya sendiri.

Krisnasakti Anggar PP

Penulis Lepas, tinggal di Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline