BIsmillahirrahmanirrahiim
Pagi ini aku diam-diam mencuri dengar obrolan dua orang yang karenanya Allah hadirkanku bagi mereka, dua orang yang sejak dulu banyak mewakilkan setiap pintaku pada Allah, dua orang yang tulus cintanya sangat sulit untuk digambarkan. Iyaa, karena memang aku tak pernah bisa menggambar. Hihihi.
Sesekali aku ingin membahas ini, tapi waw pipiku terasa panas bahkan sebelum aku memulainya. Hahaha.
Sebetulnya bukan baru pagi ini aku menyimak pembicaraan mamak dan bapak. Sudah sering, bahkan dari dulu. Kadang mereka terbahak bersama, ada saat bapak meminta sebuah pendapat, saling curhat, sesekali berkeluh kesah, ada saat bapak memberi nasihat, mamak merajuk pura-pura tak peduli sambil mengaduk kopi, mamak sedikit meninggikan suara atau membuat mata lebih bulat dari biasa sambil menyuguhkan ubi yang mulai menghangat, bapak menertawakan tingkah mamak yang menyebalkan, mamak terpingkal karena ekpresi heran bapak melihat istrinya.
Banyak. Lagi. Setiap hari seperti itu. Berkali-kali aku mencoba memikirkannya. Bagaimana bisa ada seseorang yang mau bertukar cerita dengan orang yang sama setiap harinya, yang semakin hari berganti semakin saja terlihat kekurangannya. Cinta seperti apa yang mereka bangun hingga setiap hari berubah, sepertinya bangunannya semakin mewah.
Pelan-pelan aku kembali menelaah, hingga sampai pada satu kata tentang bentuk cinta. Menerima. Cinta sesederhana itu, tentang menerima. Untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam setiap keadaan, hingga ketika semakin sering berjumpa badai mereka semakin sadar bahwa pengendali semua yang terjadi bukan hanya tangan mereka, melainkan Allah.
Ada izin dari-Nya, kemudian rumusnya kembali lagi, menerima. Ntahlah apa yang aku sampaikan benar atau salah, tapi rasanya memang begitu. Karena salah satu hal yang tetap ada di muka bumi adalah ketetapan-Nya.
Tentang cinta yang datang dari-Nya dan karena-Nya misalnya. Tanpa Allah yang tetapkan, bagaimana mungkin ada orang yang mau bertahun-tahun hidup dengan orang yang jauh dari kata sempurna, meski tau dia pun bukan orang yang sempurna.
Tapi, bukankah apa-apa yang dilakukan dengan alasan "karena Allah" bisa membuat semua terasa lebih ringan. Bukan hanya tentang kesadaran bahwa kita ini Ia yang ciptakan, semua datang dari-Nya, kembali pada-Nya. Tapi juga tentang rayuan agar selalu di tolong oleh-Nya. Bukankah melegakan ketika penguasa alam selalu menolong kita, menjamin semuanya akan baik-baik saja meski saat hati dalam keadaan tak begitu baik.
Wah, aku cukup lega menuliskan ini semua. Hahaha...
Kembali ke sepasang manusia yang sejak tiga puluh tujuh tahun lalu hidup bersama. Bagaimana seorang aku melihat mereka? Bahagia, jelas. Tapi bukan itu yang ingin aku angkat sekarang. Seorang aku yang sudah dua belas hari ini kembali melihat mereka, kok rasanya envy, ya? Pengen juga. Hahaha.