Prancis, atau negara yang dikenal dengan menara Eiffel dan kota Paris yang identik dengan suasana romantis bagi khalayak. Negara ini memiliki jumlah persentase penduduk Muslim terbesar se-Eropa, dengan jumlah pemeluk Islam sekitar 4 hingga 5 juta jiwa atau sekitar 7,5%. Sebagian besar dari mereka adalah pendatang, tentu saja dari Aljzair - sebagai negara yang pernah dikolonisasi oleh Prancis - kemudian pendatang dari benua Afrika seperti Maroko, Syria, tidak jarang pula imigran Turki, dan negara muslim lainnya. Tidak hanya pendatang, Mualaf Prancis juga cukup mengambil andil dalam persentase tersebut.
Dengan jumlah muslim yang cukup banyak di negara ini, bukan berarti Islam bebas bergerak tanpa ada batasan yang melanggar norma agama. Tidak sama sekali. Bahkan, saya merasa dalam urusan agama, khususnya Islam, Jerman memilik peraturan yang lebih longgar daripada Prancis. Salah satu hal yang amat sangat terlihat jelas adalah mengenakan jilbab. Di Jerman, banyak sekali teman-teman mahasiswa yang bekerja part-time selama liburan musim panas di pabrik-pabrik besar. Dengan mudahnya mereka bisa bekerja tanpa halangan kerudung. Tidak hanya itu, di kampus-kampuspun mereka bisa menemukan musholla atau setidaknya ruangan kecil untuk melaksanakan sholat. Hal ini jauh berbeda dengan Prancis yang notabene merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di Eropa. Wanita berjilbab tidak akan bisa memiliki jabatan penting di suatu institusi, atau bahkan untuk bekerja paruh waktupun hampir tidak memungkinkan. Tidak pernah saya menemui satu kampus pun yang menyediakan tempat ibadah.
Pertama kali saya tiba di Prancis, saya harus mengurus surat ijin tinggal dan membutuhkan foto. Ketika saya menyerahkan foto saya, pegawai tersebut menolak. Foto yang digunakan untuk mendapatkan surat ijin tinggal tidak boleh menggunakan penutup kepala apapun itu termasuk jilbab. Jujur saya, waktu itu saya kaget dan heran, kalau memang jilbab dilarang, mengapa foto visa saya boleh menggunakan jilbab? Bukankah larangan itu hanya berlaku pada burka atau niqab (penutup wajah yang hanyak menampakkan mata saja)? Dan pegawai tersebut hanya menjawab "Kamu sedang berada di Prancis". Dan seiring berjalannya waktu, saya tidak pernah bermasalah dengan kerudung saya baik di kampus, di kelas, di masyarakat, tidak pernah ada masalah.
Prancis merupakan negara laïcité atau negara sekuler, yaitu memisahkan urusan agama dan urusan kenegaraan. Hal ini tertera pada undang-undang Prancis tahun 1905. Salah satu hal yang diatur adalah institusi atau lembaga pemerintahan tidak boleh mengenakan atau menunjukkan suatu simbol agama tertentu. Institusi-institusi yang dimaksud adalah kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah negeri seperti Taman Bermain, SD, SMP hingga SMA. Peraturan yang tertera berbunyi "suatu simbol agama tertentu", yang artinya bukan hanya kerudung/jilbab bagi kaum muslim, tapi juga larangan seperti menggunakan kalung salib bagi umat kristiani, menggunakan kippah bagi penganut Yahudi, dan lain-lain. Salah satu alasannya adalah sekolah-sekolah TK hingga SMA di Prancis hampir seluruhnya adalah sekolah negeri, yang merupakan bagian dari institusi pemerintah. Lain halnya dengan sekolah-sekolah swasta, hal tersebut tidak berlaku. Namun, simbol agama ini bisa digunakan ketika kita telah memasuki perguruan tinggi, karena kita telah dianggap dewasa dan bisa menentukan apa yang akan kita pilih sebagai jalan hidup. Jika itu alasannya, saya mengasumsikan bahwa larangan mengenakan simbol religi di sekolah umum adalah untuk menghindari doktrin pada anak-anak yang masih belum cukup umur.
Meskipun telah jelas aturan diperbolehkannya simbol agama di Perguruan Tinggi, pengalaman yang cukup menegangkan pernah menimpa saya. Sewaktu itu, saya sedang mengikuti ujian akhir semester. Ruang ujian yang besar, dengan kapasitas kurang lebih 200 mahasiswa dan hanya 1 orang pengawas saat itu (biasanya ada 2 hingga 4 pengawas). Dosen tersebut membagikan, soal ujian. Kemudian ia menghampiri saya dan menyuruh saya melepas kerudung. Namun saya tidak mau. Cukup lama perdebatan yang kita lakukan saat itu, kurang lebih memakan waktu 10 menit. Sebenarnya, saat itu saya merasa cukup deg-degan mengingat posisi saya yang lemah, yaitu sebagai orang asing dan minoritas (muslim), ditambah lagi bahasa Prancis saya yang masih pas-pasan. Dosen tersebut meneriaki saya dan mengancam saya untuk tidak boleh mengikuti ujian jika saya tidak mau melepas kerudung saya. Jelas saja saya menjadi pusat perhatian di ruangan tersebut, 200 pasang mata menatap saya, karena saya merupakan satu-satunya yang berkerudung. Nyawa saya terselamatkan ketika 2 pengawas lain memasuki ruang ujian dan dosen tersebut pun berhenti memaki-maki saya.
Sejauh ini, menurut saya pribadi, berkerudung di Prancis bukan merupakan hal yang berat. Jika dibandingkan dengan Jerman, memang Prancis jauh kebih ketat. Tapi, banyak sisi positif yang bisa saya kita rasakan. Contohnya, ketika kita membeli makanan di suatu restoran, mereka akan memberi tahu kita, makanan tersebut halal atau tidak, mengandung babi, alkohol, proses pemotongannya, sebagian besar orang Prancis telah mengenal syarat makanan halal atau tidak. Selain itu, ketika kita bertemu dengan sesama muslim lainnya, ia akan memberi kita salam, yang tentu itu merupakan suatu do'a. Membahagiakan bukan jika kita sering didoakan? Hal lainnya adalah ketika kita bertemu dengan warga muslim lainnya, tidak jarang kita mengobrol dan banyak dari mereka yang tertarik dengan Indonesia, karena Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia. Dengan begitu, kita bisa mempromosikan Indonesia dan berkontribusi secara tidak langsung pada negara kita :D
Intinya, berkerudung di Prancis bukanlah hal yang sulit meskipun sejujurnya tidak bisa dikatakan hal yang mudah. Tetapi yang pasti bukan merupakan hal yang terlarang dan tidak melanggar hukum di neagara ini. Larangan yang ada hanyalah mengenakan burka atau niqab dan larangan menunjukkan simbol religi apapun di institusi pemerintahan. Selebihnya, kembali pada devisa Prancis: Liberté, Egalité, Fraternité - Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H