Seorang anak datang. Menghampiri siang. Kayuhannya bertubi sepertinya. Seperti sedang mengejar sesuatu yang ingin dia kejar. Beberapa asap bis datang membuat udara disekitarnya lusuh. Tampak lelah wajah anak yang mengayuh sepeda itu. Seperti akan terjatuh, tetapi dia terus berusaha untuk sadar.
Beberapa saat orang melihatnya, kemudian berpaling. Tak pernah peduli dengan apa yang orang pandang, tetap saja dia mengayuh sepedanya. Ada yang dia kejar siang ini. Beberapa pesanan roti harus dia penuhi. Roti yang sudah tersedia di dapur ibunya menjadi sebuah hal yang tidak bisa ia elakkan ketika pulang dari belajarnya. Lebih dari sepuluh kilometer dia bersepeda dan terus mengayuh. Dalam sepuluh kilometer itulah akhirnya dia menempuh duapuluh menit perjalanan yang tidak pernah ada orang tua membiarkan anaknya mengayuh diantara para bus dan para truk besar. Sekali lengah, matilah sudah.
Sesampainya dirumah diteguknya beberapa air putih segar yang tidak pernah dia bayangkan. Segar sekali rasanya. Terlihat dari wajah puasnya ketika selesai meminum semua air dalam gelas yang penuh dengan air. Wajahnya kembali berseri seketika, tanpa ada jeda dia mengambil beberapa pesanan roti yang sudah ibunya siapkan.
"Bu, aku berangkat", katanya sambil menghampiri ibunya yang terbaring.
"Pergilah nak, semoga kau selamat", suaranya parau jelas terdengar. Beberapa hari terakhir memang sakit sedang melanda ibunya. Batuk berdarah menjadi penyebab utama ibunya hanya bisa berkegiatan terbatas. Sekedar membuat roti pesanan saja sudah menguras satu hari tenaganya. Sungguh malang dalam kesendirian ditinggal suaminya meninggal beberapa tahun silam.
Siapa yang akan kembali ketika sudah mati? Tidak. Tidak ada. Semua sudah tiada.
Anak itu mengantarkan roti pesanan tanpa banyak berkata. Hanya inilah harapan terakhirnya untuk bersekolah. Siapa sangka sepeninggal ayahnya, dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Mencari apapun pekerjaan yang bisa dia kerjakan. Hidupnya kasihan, tapi tak pernah dia membiarkan orang memberi kasih kepadanya. Dia ingin terus berjuang.
Sampai pada malam harinya, dia mendapati Ibunya telah mati, terbujur kaku. Beberapa saat kepergiannya untuk mengantar roti ibunya dipanggil oleh sang Ilahi. Siapa mengira dia akan bersedih. Sebentar saja butir air itu merembes dipipinya, dan dia sadar kehidupan akan terus berjalan.
Beberapa tetangga datang, dan mulai mengurus jenazah ibunya. Mengiringi ke makam, dan mengucapkan salam terakhir untuk keluarga terakhir yang dia punya. "Semoga dia tabah", bisik tetangganya.
Matanya masih lebab disertai hujan. Mulutnya terbuka, "Selamat Pulang, Ibu, Ayah".