Lihat ke Halaman Asli

Pulang

Diperbarui: 5 September 2017   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang anak datang. Menghampiri siang. Kayuhannya bertubi  sepertinya. Seperti sedang mengejar sesuatu yang ingin dia kejar.  Beberapa asap bis datang membuat udara disekitarnya lusuh. Tampak lelah  wajah anak yang mengayuh sepeda itu. Seperti akan terjatuh, tetapi dia  terus berusaha untuk sadar.

Beberapa saat orang  melihatnya, kemudian berpaling. Tak pernah peduli dengan apa yang orang  pandang, tetap saja dia mengayuh sepedanya. Ada yang dia kejar siang  ini. Beberapa pesanan roti harus dia penuhi. Roti yang sudah tersedia di  dapur ibunya menjadi sebuah hal yang tidak bisa ia elakkan ketika  pulang dari belajarnya. Lebih dari sepuluh kilometer dia bersepeda dan  terus mengayuh. Dalam sepuluh kilometer itulah akhirnya dia menempuh  duapuluh menit perjalanan yang tidak pernah ada orang tua membiarkan  anaknya mengayuh diantara para bus dan para truk besar. Sekali lengah,  matilah sudah.

Sesampainya dirumah diteguknya beberapa  air putih segar yang tidak pernah dia bayangkan. Segar sekali rasanya.  Terlihat dari wajah puasnya ketika selesai meminum semua air dalam gelas  yang penuh dengan air. Wajahnya kembali berseri seketika, tanpa ada  jeda dia mengambil beberapa pesanan roti yang sudah ibunya siapkan.

"Bu, aku berangkat", katanya sambil menghampiri ibunya yang terbaring.

"Pergilah  nak, semoga kau selamat", suaranya parau jelas terdengar. Beberapa hari  terakhir memang sakit sedang melanda ibunya. Batuk berdarah menjadi  penyebab utama ibunya hanya bisa berkegiatan terbatas. Sekedar membuat  roti pesanan saja sudah menguras satu hari tenaganya. Sungguh malang  dalam kesendirian ditinggal suaminya meninggal beberapa tahun silam.

Siapa yang akan kembali ketika sudah mati? Tidak. Tidak ada. Semua sudah tiada.

Anak  itu mengantarkan roti pesanan tanpa banyak berkata. Hanya inilah  harapan terakhirnya untuk bersekolah. Siapa sangka sepeninggal ayahnya,  dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Mencari apapun pekerjaan  yang bisa dia kerjakan. Hidupnya kasihan, tapi tak pernah dia membiarkan  orang memberi kasih kepadanya. Dia ingin terus berjuang.

Sampai  pada malam harinya, dia mendapati Ibunya telah mati, terbujur kaku.  Beberapa saat kepergiannya untuk mengantar roti ibunya dipanggil oleh  sang Ilahi. Siapa mengira dia akan bersedih. Sebentar saja butir air itu  merembes dipipinya, dan dia sadar kehidupan akan terus berjalan.

Beberapa  tetangga datang, dan mulai mengurus jenazah ibunya. Mengiringi ke  makam, dan mengucapkan salam terakhir untuk keluarga terakhir yang dia  punya. "Semoga dia tabah", bisik tetangganya.

Matanya masih lebab disertai hujan. Mulutnya terbuka, "Selamat Pulang, Ibu, Ayah".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline