Lihat ke Halaman Asli

Mimpi Anak Petani (Part 1)

Diperbarui: 18 Oktober 2015   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mimpi, iya mimpi, aku punya mimpi yang ingin aku ceritakan, ini bukan hanya sekedar mimpi, karena sebagian dari mimpi ini telah mampu aku wujudkan. Aku berharap yang membaca kisahku terinspirasi untuk menggapai mimpinya, karena mimpilah aku bisa melangkah hingga sejauh ini. (Angga Deva).

 

Aku berdiri termenung menatap langit pagi ini, kepalaku terus tertuju keatas berharap sang pencipta menatapku dengan penuh rahmat, linangan air mata mulai membasahi pipi, aku menganggap aku hanyalah manusia hina yang perlu dipanggil saat itu juga oleh sang Maha Pencipta. Aku menangis sejadi-jadinya, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, apakah perjuanganku sejauh ini harus berakhir, apakah aku harus pulang kekampung halaman dengan tangan hampa, apa kata orangtuaku, apa kata orang-orang disana, lebih dari 8 tahun aku merantau, namun tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya bisa terdiam dan bersembunyi di balik keramaian. Seakan-akan aku hanyalah batu yang persis tak bisa bergerak dan tak bisa berbicara.

Aku pandangi sang awan, seakan dia mengerti kesedihanku, perlahan sang awan mulai merubah warnanya menjadi kesenduan, kemudian dia menjatuhkan air seperti tangisan. Sang mataharipun bersembunyi seperti ketakutan, perlahan kilatan cahaya mulai berdentungan, tangisku semakin terisak, laksana anak kecil yang baru lahir kedunia ini.

Kutundukkan kepala, dan perlahan ku usap air mata, ditengah derasnya hujan aku terus tertunduk hingga semua pakaianku basah, aku tak tahu lagi harus berbuat apa, rasanya bumi yang kupijak sangatlah hampa, udara yang kuhirup rasanya sesak, bunyi kilatasan cahaya yang begitu bergelora seperti nyanyian yang menyayat bathinku.

Aku semakin tertunduk dan kemudian terduduk, aku menyesali semua kebodohan yang kulakukan, aku merasa telah menyianyiakan pengorbanan keluargaku, mereka berjuang banting tulang untuk membesarkan dan membantuku mewujudkan mimpi, namun apa yang kulakukan?. Seketika kilatan cahaya dan petir berdentum begitu kerasnya, sehingga aku menjadi tersentak, seakan-akan alam marah dan mencoba menasehatiku.

Seketika hembusan angin datang, dan aku mulai tersadar dengan apa yang telah kulakukan sejauh ini. Terbayang masa lalu, ketika aku masih seperti anak kecil yang berlarian ditengah pematang sawah. Terbayang begitu susahnya kehidupanku dimasa lalu. Terbayang segala usaha dan pengorbanan yang telah ku tumpahkan selama ini.

Perlahan, kesenduan alam mulai menyingkir, dan sang matahari mulai meninggi, dan aku mulai tersenyum, karena Tuhan telah menyadarkan ku, dan kini ingin kumulai menuliskan kisahku disini. Kisah yang mulai terlihat samar-samar, namun selalu terngiang dihati dan fikiran. Suatu kisah yang berawal dari kampung yang jauh di ujung sana, di ujung Provinsi Jambi, suatu daerah yang terkenal akan julukan nya “Sekepal Tanah Surga”, yaitu Kerinci.

(Bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline