Siapa yang belum kenal Tere Liye? Sastrawan yang terkenal dengan novelnya yang apik, ternyata memuat jejak historis yang telah lama diprediksi Indonesianis.
Tere Liye dengan Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah-nya menyajikan hiruk-pikuk kehidupan di sungai Kapuas (Sungai Kapuas atau sungai batang Lawai (Laue), sungai yang berada di provinsi Kalimantan Barat.
Kisah percintaan misterius yang dikemas menarik tentang amplop merah, ketidaksukaan Papa Mei, dan menjauhnya Mei dari kehidupan Borno.
Siapa sangka? Novel yang mengusung antara Budaya Dayak, Melayu dan Cina peranakan, dengan aroma Pontianak dan alur cerita yang sederhana ini ternyata memuat nuansa sastra ekokritik dan diaspora politik.
Sebelum beranjak lebih jauh tentang kesustraan Indonesia dengan meminjam kacamata Indonesianis, penting bagi kita untuk mengingat bahwa mutu kajian sastra sekurang-kurangnya memuat dua hal.
Pertama, peningkatan bobot dan kedalaman apresiasi. Kedua, kontribusi sosial terhadap realitas sosial.
Sastra memegang penting peranan imajinasi yang lahir dari rahim kegelisahan. Maka tak heran, jika karya maupun kajian sastra selalu bersinggungan dengan ekonomi, politik, maupun sosial budaya yang kompleks.
Bila dikaitkan dengan teori Cultural Studies, sastra tergabung dalam satu entitasnya. Cultural Studies merupakan diskursus yang selalu terbuka (Storey 1996a, 2).
Teori ini akan selalu merespon perubahan kondisi politis dan historis, serta senantiasa ditandai dengan perdebatan, pertentangan, dan intervensi.
Cultural Studies berpendapat bahwa budaya merupakan salah satu situs utama tempat pembagian-pembagian tersebut terbangun dan saling berkontestasi.