Baru-baru ini saya melakukan penelitian sederhana tentang pandangan orang dewasa mengenai Selfies, tujuan khusus saya untuk lebih mendasar tahu apakah selfie memiliki nilai positif atau negatif, dan sampai batas dimana, selfies bernilai positif. Selfies marak di dunia sekitar tahun 2013 kemudian bergerak semakin popular di tahun 2014 hingga kini, sampai muncul juga inovasi tongsis (tongkat otomatis) dan tomsis (tombol otomatis) untuk memaksimalkan kebudayaan populer selfies.
Mungkin belum banyak yang tahu kalau Selfie dipakai awalnya oleh anak muda cowok di Australia yang memotret bagian bibir dirinya yang ada bekas jahitan menggunakan kamera ponsel dan diunggah ke chat room group karena ingin tahu pendapat dari teman-teman di group. Kebudayaan anak muda Australia yang suka membuat istilah kata baru untuk kosakata yang panjang menjadi satu silabel dan mengakhiri dengan bunyi 'i' menjelaskan munculnya istilah selfies. Sebagai contoh barbie untuk acara barbercue; mozzi untuk mosquito; Auzzie untuk Australia. Informasi diambil dari buku yang ditulis oleh Terri Morrison dan Wayne A. Conaway tahun 2006. Sementara, selfies adalah bentuk kata baru dari self-portrait atau self-photography. Berpuluh atau ratusan tahun lalu, foto semacam ini sudah ada namun karena belum berkembangnya teknologi sampai tingkat saat ini maka foto diri masih dilakukan oleh orang lain. Kata Selfie kemudian lebih spesifik mengarah ke aktifitas pengguna jaringan media sosial, sejauh orang mengunggah foto diri ke jaringan media sosial atau foto profil maka aktifitas itu disebut selfie(s). Secara macamnya, groufie dan wefie termasuk selfie ataupun ketika seseorang meminta orang lain untuk memfoto dirinya.
Hampir semua orang yang punya kamera dan akun di jejaring sosial pernah melakukan trend ini; dari presiden hingga orang biasa ikut ber-selfie. Sampai ada lagunya, dibuat oleh The Chainsmokers, liriknya mulai dari dua cewek yang curhat di toilet terus selfie sampai edit hingga nunggu feedback dari pengikut akun instagramnya. Lebih menariknya, ada kalimat "I only got 10 likes in the last 5 minutes
Do you think I should take it down? Let me take another selfie". Asumsi saya, pencipta lagu ini pernah bertemu dengan orang yang memikirkan betapa pentingnya respon dari kontak di akun jejaring sosial. Beberapa tulisan baik di media populer atau karangan ilmiah melakukan survey tentang orang yang sering melakukan Selfie, kemudian muncul anggapan negatif, diantaranya berhubungan dengan kepercayaan diri, ketahanan diri dan narsis. Bahkan ada kampanye anti selfie.
Sementara, tulisan yang saya buat dari hasil kuesioner ke 16 orang muda dewasa menunjukkan hasil yang positif. Kebanyakan mereka melakukan Selfie satu sampai tiga kali seminggu, menggunakan cara edit sederhana (warna, kontras, terang, potong, dsb.) hingga instagram. Hanya dua orang yang memakai aplikasi 360 dan beauty face. Mungkin karena mereka orang-orang yang sudah bekerja, sehingga waktu mereka memang untuk bekerja. Menurut Erving Goffman, kecenderungan manusia adalah membatasi dan atau memilih informasi diri sendiri yang ingin ditampilkan kepada orang lain untuk menciptakan citra diri yang dimaksud (dalam arti umum). Pendapat lain tentang selfie ditulis oleh Rettberg dalam bukunya berjudul Seeing Ourselves Through Technology: How We Uses Selfies, Blogs and Wearable Devices to See and Shape Ourselves, dia berpendapat bahwa melalui selfie, orang dapat menjalin silaturahmi dengan sesama dan bisa memunculkan ide yang kreatif. Namun, dia juga membahas tentang kampanye anti selfie bertujuan untuk mendisiplinkan orang-orang yang melakukan Selfie berlebihan sehingga mengganggu orang lain, foto-foto mereka muncul di dinding akun orang lain secara terus menerus bahkan bisa memaksa orang yang terganggu untuk menghapus kontak temannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H