Mudik alias pulang kampung sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan masyarakat indonesia setiap kali menjelang lebaran. biasanya tujuannya adalah untuk berkumpul dan bertemu dengan keluarga dikampung halaman. Tradisi mudik ini bukan hanya ada di Indonesia saja. Tetapi negara yang juga memiliki tradisi yang mirip dengan tradisi mudik di Indonesia. Fenomena metafisik dalam tradisi ini, bahwa seberapa pun jauhnya merantau, pada akhirnya setiap orang akan kembali ke asalnya. Pepatah mengatakan, setinggi-tingginya bangau terbang, ia akan kembali ke sangkarnya.
Saya adalah seorang anak rantau yang berasal dari Tebing-Tinggi, Sumatera Utara. Mudik disaat pandemi, sangat berbeda saya rasakan dengan mudik sebelum pandemi. Seperti tahun 2020 silam, Pemerintah masih menerapkan larangan untuk mudik sama halnya di tahun 2021 silam. Mudik sebenarnya adalah bentuk dari kebutuhan psikologis dimana timbulnya dorongan, keinginan juga kerinduan yang kuat untuk pulang ke tempat kelahiran, dan tempat menyimpan memori pada saat tumbuh kembang sebagai anak-anak hingga beranjak dewasa.
Saya sangat bahagia walaupun mudik ditahun 2021 silam, begitu sangat berbeda saya rasakan. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya sangat luar biasa. Rasanya sangat terobati rindu kampong halaman, bertemu dengan orangtua, saudara, teman-teman dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Mudik juga dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak peduli ia berasal dari golongan apa. Andre Moller (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Seiring berjalannya waktu, angka kasus positif Covid semakin menurun dan jumlah kematian juga semakin berkurang. Terkadang orang Indonesia ketika sudah tahu informasi bahwa kasus positif Covid sudah berkurang mereka menjadi abai terhadap prokes (protocol kesehatan). Terutama di kampung halaman saya hanya beberapa orang saja yang membudayakan kebiasaan memakai masker. Kecewa? ya pasti kecewa dong, karena melihat masyarakat yang tidak acuh terhadap aturan pemerintah untuk memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Oleh karena itu kasus Covid-19 juga kembali melonjak tinggi di desember 2021. Pada saat berada di kampung halaman ada salah satu hal yang lalui dan menurut saya itu berat.
Dimulai pada hal yang mengharuskan saya untuk kuliah secarra online (daring). Menurut saya itu adalah hal yang sangat membosankan. Karena saya tidak dapat bertemu langsung dengan teman-teman juga dosen pengampu di mata kuliah yang saya ambil. Gangguan sinyal kerap kali terjadi saat saya melakukan kuliah secara daring. Dan terlebih lagi, ketika nama saya di panggil untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, saya menjadi tidak memenuhi panggilannya karena terkendala oleh sinyal. Hmm… menurut saya belajar daring adalah hal yang membuat saya jenuh. Karena kurang adanya interaksi dengan lingkungan sosial. Setiap orang pasti membutuhkan system support dari lingkungannya. Dan ketika kurang adanya interaksi, individu menjadi sangat gampang menemukan titik jenuhnya.
Pandemi Covid-19 seakan menjadi katalisator penggerak perkembangan budaya melalui daring dan digital. Untuk itu, perlu untuk dipahami bahwa kebudayaan merupakan investasi yang tetap berkembang kala perekonomian tengah meradang sebagai akibat dari pandemi yang bergelombang. Tradisi mudik bagi perantau di ibu kota juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam berbagai rutinitas pekerjaan sehingga saat masuk ke rutinitas, kembali memiliki semangat baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H