Lihat ke Halaman Asli

Selesaikan Masalah Permukiman Kumuh di Kota Probolinggo

Diperbarui: 15 September 2023   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kota Probolinggo adalah sebuah kota yang ada di provinsi Jawa Timur. Kota Probolinggo sendiri merupakan kota terbesar keempat di Provinsi Jawa Timur setelah kota Surabaya, Malang, dan Kediri jika dilihat dari segi jumlah penduduknya. Di kota Probolinggo banyak sekali kawasan wisata yang bisa kita kunjungi. Salah satunya adalah BJBR. Namun, di balik keindahan yang ada di Kota Probolinggo, tentunya sebuah kota tidak lepas dari  permasalahan yang sering muncul dan penyakit kota yang perlu untuk segera diatasi, yakni permukiman kumuh. Akibat terjadinya aktivitas yang sangat heterogen dan tidak dalam kesatuan sistem kegiatan perkotaan yang terencana, mengakibatkan terjadinya kantong-kantong kegiatan yang tidak saling menunjang, termasuk dengan munculnya permukiman yang berkembang di luar rencana sehingga terbentuklah permukiman-permukiman kumuh. Selain itu, karena banyaknya penduduk Kota Probolinggo membuat kota ini merupakan salah satu penyebab adanya beberapa kawasan kumuh, hal ini menjadi salah satu contoh permasalahan yang ada di Kota Probolinggo. Pemerintah kota telah menetapkan setidaknya empat kawasan di Kota Probolinggo sebagai kawasan  kumuh, yakni kawasan Kalibanger, kawasan Mayangan, kawasan Jati, dan kawasan Kebonsari Kulon.

Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni, ditandai dengan konstruksi yang tidak teratur, kepadatan konstruksi yang tinggi, serta kualitas bangunan, peralatan, dan prasarana yang tidak memenuhi persyaratan. (UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP). Berikut  beberapa penyebab menurunnya kualitas lingkungan permukiman kumuh di kota Probolinggo, antara lain (1) kurang memadainya sarana dan prasarana  seperti kondisi jalan yang buruk dan lebar jalan yang kurang sehingga  mengurangi kenyamanan masyarakat, kondisi sanitasi, kondisi TPS dan kualitas air minum yang tersedia di wilayah tersebut. (2) Kualitas  rumah itu sendiri, seperti letak dimana rumah tersebut dibangun, kepadatan, ketidakrataan konstruksi, dan luas genangan air  di sekitar rumah. (3) Ekonomi dan sosial, seperti tingkat pendidikan setiap orang, tingkat pendapatan, angka kelahiran, pembentukan pola hidup sehat serta kemampuan menyediakan air bersih untuk aktivitas sehari-hari. (4) Peranan masyarakat terhadap lingkungannya, misalnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan  sekitarnya.

Misalnya saja di kawasan Mayangan, banyak sekali sampah dan  hewan yang dibiarkan di pinggir jalan, sehingga seringkali menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan karena bau menyengat atau kotoran hewan yang berserakan di jalan. Banyak orang yang justru acuh terhadap kondisi tersebut, padahal mereka tahu bahwa kondisi tersebut jelas mengkhawatirkan dan dapat merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Selain itu, masih banyak rumah tidak layak huni di kawasan Mayangan. Jarak antar rumah yang sangat sempit dan jalanan yang sulit membuat sebagian masyarakat enggan datang ke kawasan ini. Jalan di sekitar rumah yang sebagian masih berupa tanah banyak menimbulkan lubang dan genangan air akibat aktivitas beberapa orang seperti mencuci pakaian dan mencuci sepeda motor di halaman rumah.

Seperti yang telah disebutkan, tingkat pendidikan dan pendapatan setiap penduduk menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas permukiman di kawasan sekitarnya. Ternyata masih banyak warga wilayah Mayangan yang belum mengenyam pendidikan secara maksimal. Banyak di antara mereka yang masih belum bisa membaca, apalagi menulis. Selain itu, mayoritas masyarakat di wilayah Mayangan berprofesi sebagai nelayan karena letak Mayangan sendiri sangat dekat  dengan laut. Seperti yang kita ketahui saat ini, pendapatan nelayan saat ini tidaklah besar, tergantung  hasil tangkapan  saat itu. Dan banyak atau tidaknya hasil tangkapan mereka juga dipengaruhi oleh faktor cuaca pada saat mereka melaut. Permasalahannya adalah masyarakat miskin yang berpendapatan rendah tidak bisa begitu saja mengabaikan kebutuhan akan tempat tinggal karena hal ini penting bagi kehidupan mereka, namun di satu sisi, mereka juga tidak bisa memprioritaskan pembayaran biaya pembangunan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan tempat tinggalnya. bahwa mereka layak huni. Semakin rendah proporsi pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pemeliharaan perumahan dan fasilitas perumahan, semakin tidak sehat kondisi perumahan tersebut.

Dan untuk memberantas permukiman kumuh di Kota Probolinggo, diperlukan tindakan khusus dari Pemerintah Kota Probolinggo. Berbagai cara  dilakukan  pemerintah kota untuk mengurangi timbulnya permukiman kumuh di Kota Probolinggo, seperti kegiatan Alih Kelola Aset Kawasan Mayangan yang dilakukan oleh tim pengelola OPD dalam rangka pemeliharaan kawasan Mayangan, rencana pengembangan kawasan Mayangan. dan implementasi rencana induk kawasan prioritas pengelolaan kawasan kumuh  Probolinggo. Bahkan, pada tahun 2022, ada satu kawasan yang akhirnya 100% terbebas dari status kumuh, yakni kawasan  Kebonsari Kulon. Permukiman kumuh di Kota Probolinggo juga dilaporkan mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tentu ini  menjadi  kabar baik bagi kita semua.

Lantas bagaimana cara  membebaskan seluruh  permukiman kumuh yang ada di kota Probolinggo. Tentunya yang terpenting adalah kita perlu mengedukasi masyarakat setempat agar lebih peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Melakukan kegiatan peningkatan kesadaran tentang pentingnya rumah yang bersih. Selain itu, karena jumlah penduduk di kawasan kumuh cenderung padat dan satu rumah bahkan bisa dihuni oleh banyak keluarga, maka Pemkot Probolinggo berencana membangun rumah sedemikian rupa sehingga tidak terjadi penumpukan penduduk karena idealnya di sana hanya ada satu orang kepala keluarga dalam sebuah rumah. Selanjutnya, untuk mengentaskan permasalahan tersebut, pemerintah melalui Direktorat Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) mencanangkan program Kota Bebas Kumuh (Kotaku) untuk mempercepat penanganan kawasan kumuh dan mendukung permukiman kumuh. Gerakan 100-0-100, yakni 100% akses air minum layak, 0% permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. Tujuan dilaksanakannya program ini adalah untuk meningkatkan akses  infrastruktur dan pelayanan dasar pada permukiman kumuh  di perkotaan dan mencegah munculnya permukiman kumuh baru dalam  mendukung pencapaian terciptanya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Dislokasi perumahan atau permukiman kumuh di kota-kota besar diharapkan dapat diatasi melalui program ini. Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan penanggulangan permukiman kumuh merupakan salah satu aspek penting yang harus dimasukkan dalam tahap pelaksanaan. Kegiatan servis dan pemeliharaan juga diperlukan setelah penerapan program Kotaku. Dan untuk menjaga kesehatan lingkungan, diperlukan kesadaran bersama untuk menjaga kebersihan, seperti tidak membuang air dalam jumlah banyak secara sembarangan, tidak membuang sampah sembarangan, dan menerapkan pola hidup sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline