Keris dalam bahasa Jawa kuno yaitu "kekeran aris". Kekeran artinya penghalang, pagar, pengendalian, dan peringatan. Aris artinya halus, hati-hati, dan tenang. Keris dalam pengertian ini berarti seseorang yang berhubungan dengan sesamanya harus bisa saling memagari, mengendalikan, dan memperingatkan dirinya dengan aris. Orang Jawa dalam memaknai keris tidak hanya sebagai senjata tikam akan tetapi perlu ditinjau makna simbolik dari bentuk fisiknya (Gustami, 2007). Perumusan makna simbolik pada keris ini nantinya akan dapat mengungkap ajaran-ajaran moralitas Jawa.
Keris merupakan senjata tusuk pendek dimana ada istilah keris corok dengan ukuran maksimal 42 cm dan keris kecil yang berukuran paling kecil 30 cm. Bagian bilah pada keris memiliki kemiringan dan bentuknya tidak sama antara sisi kanan maupun kirinya. Keris memakai pesi (bagian keris yang letaknya di bagian pangkal atau ujung bawah dari badan keris) dan gonjo (bagian keris untuk menghubungkan bilah dan pesi). Dhapur juga perlu dimiliki dalam sebuah keris yang terdiri dari leres (lurus) atau luk (berkelok). Selain itu, keris harus memiliki ricikan yang merupakan bagian-bagian keris agar dapat menentukan nama dhapur dari keris tersebut.
Sampai sekarang keris masih tetap digunakan oleh kaum pria dengan nilai budaya dan norma yang melingkupinya. Fungsi utama keris sebagai senjata telah beralih menjadi fungsi lainnya. Alih fungsi keris ini salah satunya adalah digunakan untuk kelengkapan busana tradisional yang mengikuti standar kesopanan pakaian Jawa jangkep. Keris merupakan salah satu pilar budaya Jawa yang berarti bahwa keris adalah salah satu unsur utama penopang budaya Jawa dan penopang dari tegaknya suatu keraton.
Pada tahun 2005, UNESCO menetapkan keris sebagai benda peninggalan budaya secara bendawi dan non bendawi. Keris secara bendawi berarti bahwa ada indikasi nenek moyang kita zaman dahulu sudah menguasai teknologi metalurgi. Secara non bendawi, keris mengandung filosofi dan pesan-pesan moral. Setiap satu suro yang merupakan tahun baru Jawa, keris akan dijamas dengan tujuan untuk menghidupkan pesan simbolik dalam detail-detail keris tersebut agar nilai yang terkandung dapat terpatri di dalam hati.
Pada masa sekarang, keris Solo lebih digemari karena dianggap relevan dan menunjukkan status sosial. Lalu apa yang membedakan keris Solo dan Jogja? Keris Jogja dibuat lebih sederhana dan tidak menunjukkan estetikanya. Pakem keris Jogja mengambil dari Mataram yang pamor dan kesannya sederhana karena pada zaman itu keris digunakan untuk perang. Berbeda dengan keris Solo yang tidak membawa kebudayaan Mataram sehingga lebih hedon dan detail pamornya rapi. Sarung keris Solo juga menggunakan emas yang menunjukkan bahwa pada masa itu kerajaan Solo makmur dan mulia sehingga keris yang digunakan lebih menonjolkan pada segi estetikanya.
Tidak kalah dengan manusia, keris juga memiliki strata. Adapun strata pustaka tersebut yaitu: Kyai (untuk golongan bangsawan dan orang-orang kaya), Kanjeng Kyai (raja yang mempunyai prestasi biasanya diberi hadiah keris atau saat raja melaksanakan tugas dan tidak bisa melakukan perjalanan jauh biasanya diberi pusaka ini), dan Kanjeng Kyai Ageng (pusaka utama keraton yang tidak boleh diperlihatkan secara umum dan digunakan untuk legitimasi bagi penerus tahta). Ada juga beberapa cara dalam pemakaian keris yang tergantung dari situasi dan kondisi. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan posisi seseorang dalam mengambil keris tersebut sekaligus dapat digunakan sebagai komunikasi secara non verbal.
Sangat seru bukan pembahasan mengenai keris ini? Kalau kalian sedang berada di Kota Solo dan ingin menambah pengetahuan tentang keris serta sejarahnya jangan lupa berkunjung ke Museum Keris Nusantara yang beralamat di Jalan Bhayangkara No. 2, Sriwedari, Laweyan, Kota Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H