"Media sosial seperti dewa Janus, punya dua muka. Baik dan jahat." Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., seorang Guru Besar Ilmu Komunikasi dalam presentasinya di konferensi bertemakan Message, Meaning, Media in Disruptive Communication Era, menyatakan hilangnya sifat sosial dari sosial media, sebuah platform yang memiliki sisi baik dan buruk.
Banyaknya fenomena terbaru dalam masyarakat yang cenderung hidup dalam dunia bermuka dua ini diakibatkan oleh sedikitnya kesempatan untuk berkomunikasi secara ekspresif atau malah pengguna sendiri yang kehilangan kedewasaannya dalam berkomunikasi melalui media sosial. Beberapa di antaranya adalah kelakuan pengguna yang asyik bermain smartphone tanpa benar-benar berkomunikasi dengan sekitarnya, kasus Pemecat
an pramugari Rusia, Tatiana Kozlenko, karena penggunaan media sosial yang tidak bijak, kasus selebrasi pemain sepak bola yang malah menjurus pada bencana akibat bahasa tubuh yang justru menyinggung masyarakat, dan maraknya konflik kampret vs kecebong di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan beliau, konflik-konflik tersebut berakar dari banyaknya perbedaan antara bahasa tubuh, ekspresi, dan cara berkomunikasi. Peranan budaya dalam perbedaan-perbedaan tersebut sangat besar.
Tanpa bisa dipungkiri, media sosial yang 'menyembunyikan' sifat-sifat komunikasi sosial masyarakat seperti bahasa tubuh, intonasi, dan ekspresi wajah, justru mendorong munculnya kesalahpahaman yang lebih besar.
Perbedaan dalam berkomunikasi mendorong keluarnya pesan yang diterima dari ekspektasi penerima. Budaya komunikasi memiliki dua garis besar, yaitu konteks rendah atau yang berbicara tanpa tedeng aling dan langsung pada intinya contohnya masyarakat Makassar dan konteks tinggi atau yang sering menggunakan banyak pembicaraan kecil dan basa-basi contohnya masyarakat Jawa. Baiknya dalam berkomunikasi diperhatikan dahulu asal-muasal dari lawan bicara.
Media sosial yang bermuka dua ini sekarang menimbulkan sifat-sifat sosial baru yang cenderung sensitif seperti nomofobia atau kecemasan saat tak ada smartphone, keintiman semu atau tak benar-benar mengenal seseorang dan dikecewakan oleh ekspektasinya, dan ilusi kesetaraan atau maraknya pengkritikan melalui media sosial contohnya seorang remaja yang menghina jokowi.
Saat kita menggunakan media sosial, dunia yang memiliki dua muka ini, detik itu juga sifat sosial komunikasi yang awalnya adalah untuk membangun rasa percaya, berekspresi dengan respek, dan menjalin hubungan serta relasi mulai hilang dan digantikan oleh sifat-sifat sosial baru yang bisa jadi menjurus pada konflik-konflik yang merusak hubungan penggunanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H