Lihat ke Halaman Asli

Tirto Adhi Soerjo

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tirto Adhi Soerjo

Soedjarwo Tjondonegoro dalam Soeara Rapi edisi Oktober 1937 menyebut TAS sebagai “pendiri harian pribumi yang pertama”. Sementara harian De Ekspres dan pendiri Koran Persatuan Hindia, Ki Hajar Dewantara menobatkan Wahidin Soediro Hoesodo dan TAS sebagai pelopor jurnalistik Indonesia.

Lahir di Bojonegoro, Jawa Tengah tahun 1880. Lelaki yang mempunyai nama kecil Djokomono inimasih memiliki darah bangsawan. Darah biru tersebut ia peroleh dari kakeknya yang notabene adalah Bupati Bojonegoro, Tirtonoto. Beruntungnya, ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah Belanda, HBS dan melanjutkan pendidikan di STOVIA, Batavia. Sayangnya pendidikannya tidak memuaskan. Bukan berarti karena beliau tidak pintar, tetapi beliau lebih memfokuskan diri pada bidang tulis menulis, sehingga pelajaran sekolah pun terbengkalai.

2 April1902, Tirto diangkat sebagai redaktur Pembrita Btawi yang dipimpin oleh F. Wiggers dan pada 13 Mei 1902, ia berhail naik pangkat menjadi pemimpin redaksi. Jabatan itu hanya setahun dipegang oleh pria ini. Beliau keluar karena berselisih paham dengan Wiggers dan meluncurkan Soenda Berita. Dalam harian ini, sebagian besar dikerjakan sendiri oleh beliau. Mulai dari penulisan, layout, keuangan, dan administrasi. Dari harian inilah beliau memiliki hubungan dengan para priyayi di jawa dan Madura, bahkan ada juga yang di Ambon. Akhirnya muncullah Sarekat Prijaji pada 1904.

Organisasi tersebut bercorak modern, karena tidak membeda-bedakan suku bangsa yang ada. Bahasa yang digunakan pun lingua franca. Namun sayangnya, Sarekat Prijaji ini tidak melakukan kegiatan apa-apa, karena TAS disibukkan dengan kelahiran Medan Prijaji pada 1907. Berawal dari koran mingguan yang kemudian menjadi koran harian, TAS sangatlah unggul di sini. Beliau sangat berpihak pada kaum yang tak beruntung, sastrawan dan aktivis pergerakan.

Pembaca dapat menuliskan apa saja kepada Medan Prijaji dan akhirnya berdampak pada kesuksesannya. Jika ada yang mengadukan haknya yang dicurangi, maka beliau akan memberikan komentar dan jika ada masyarakat yang memiliki perkara, maka Medan Prijaji kemudian tampil sebagai pembelanya. Dimana pada masa itu kebanyakan redaksi pemerintahan hanya mengutip soal pemerintahan dari “pers putih” namun beliau membuat tulisan yang tajam. Hal tersebut juga di dukung karena kedekatan beliau dengan pemerintah kolonial dan bupati-bupati. Sehingga, Medan Prijaji kemudian ditakuti, karena publik telah berani berkeluh kesah dengan cara yang modern, yaitu dengan menggunakan koran.

Berangkat dari Medan Prijaji, muncullah Soeloeh Keadilan (1907) dan Poetri Hindia (1909), sejak itu pula beliau diterpa banyak kasus, yaitu :

I.Kasus Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan tanpa ada dukungan dari warga. Sementara, Mas Soerodimedjo yang menang dan didukung oleh warga justru ditangkap dan dikenai hukuman krakal. Beliau pun menyebut pejabat tersebut sebagai pejabat ingusan dalam Medan Prijaji dan akhirnya ia dibuang ke Lampung.

II.Kasus JJ Donner Madiun yaitu berupa tulisan berjudul “Drijfusiana di Madiun” yang muncul di Medan Prijaji tahun 1909. Tulisan tersebut berisi pembongkaran persekongkolan Residen Donner dengan patih dan jaksa di Madiun untuk menjatuhkan Bupati Madiun, Brotodiningrat.

III.Skandal Patih Bandung pada 1910. Ia dihajar, dipukuli di pinggir jalan, sampai berdarah, bahkan di bawa juga ke Pengadilan, karena pidatonya.

IV.Kasus Brunsveld van Hulten. Meskipun ia adalah pengacara yang sadar hukum, ia menempuh jalur kekerasan untuk menaklukan TAS. Ia mendatangi kantor Medan Prijaji dengan Dominique Willem Beretty dan meminta TAS untuk mencabut beberapa tulisan, namun TAS menolak hal tersebut dan TAS pun terkena hukum cambuk.

V.Kasus Bupati Rembang. TAS menuding Bupati Rembang melalui Medan Prijaji edisi 17 Mei 1911. Suami almarhumah RA Kartini tersebut, Raden Adipati Djojodiningrat dianggap telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang bersekutu dengan Patih Rembang, Raden Notowidjojo. Mereka berdua menggunakan akal bulus, yaitu mengawinkan puteranya dengan puteri bupati yang baru saja meninggal, sehingga kekosongan kursi bupati tersebut pun terpenuhi.

VI.Tirto menyikut residen Ravensway dan Boissevain setahun kemudian, karena mereka berdua menghalangi putera Djojodiningrat menjadi Bupati. Sewaktu Bupati ini meninggal pun, Gubernur Jendral melayat dengan iringan kendaraan yang sangat panjang. Dan beliau pun dianggap telah memakai uang rakyat secara sembrono.

VII.Pailitnya Medan Prijaji merupakan kasus NV pertama di Indonesia, bersama dengan hutang TAS yang menumpuk. Oleh para pemilik hutang ia pun digugat dan disandera. Pada akhirnya TAS kalah, ia dibuang dan seluruh hartanya disita oleh pengadilan untuk membayar hutang.

Sepulang dari tempat pembuangannya di Ambon, TAS menjadi sebatangkara dan dilindas oleh gelombang pergerakan yang dibangunnya.

Sedikit ringkasan dari Buku Tanah Air Bahasa : Seratus Jejak Pers Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline