Di balik harumnya kopi latte, aku dapat merasakan sebuah rasa yang dibumbui oleh hubungan persahabatan. Aku meneguk secangkir kopi yang berada di atas meja kayu tua dengan sebuah buku di pangkuanku. Rasanya memang sangat lelah setelah sekolah berakhir dan tugas selalu saja menumpuk. Oleh karena rasa lelah, aku memutuskan untuk bersantai di sebuah kedai kopi dekat sekolah. Lagipula, selain bisa menikmati kopi, aku juga bisa bersantai dengan seorang sahabatku yang bekerja sebagai barista di kedai kopi ini. Namanya Billy.
Ia sangat populer terutama di kalangan para wanita. Mereka kebanyakan mengidolakan Billy karena keterampilannya membuat kopi dan juga penampilannya yang rapi dan tampan. Meskipun begitu, ia tetap tidak melupakanku sebagai sahabatnya. Belum lama aku meneguk kopi latte itu, ia langsung menghampiriku dan duduk di seberangku.
" Axel," panggilnya. " Bagaimana sekolah? Kayaknya lu kecapekan gitu."
" Iya nih, Bro. Tugas numpuk banget. Masa hari ini baru dikasih tugasnya besok udah harus ngumpulin.," keluhku. Ia malah menertawakanku lalu ia berkata lagi. " Semangat dong mas bro. Anyway kayaknya sepatu baru tuh." Ia melihat ke arah sepatuku sambil senyum-senyum meledek.
" Iya, baru beli sih kemarin. Siapa tahu derajat gue naik kalau pakai sepatu bermerek begini. Emangnya cuma lu doang yang bisa populer," candaku diikuti dengan tawaan. " Ada-ada aja lu, Bro. Asal lu tahu, gue sendiri juga bingung kenapa gue bisa tiba-tiba populer padahal gue ngerasa diri gue kayak pas-pasan. Bisa beli makan aja gue udah mengucap syukur. Ini aja kalau gue nggak kepepet, gue nggak bakal kerja shift tiap pulang sekolah."
Aku medesah ketika mendengar keluh kesah Billy. Aku tahu dia memang secara finansial kurang, tetapi kepopulerannya sering kali membuatku iri terhadapnya. Setiap hari ia disapa oleh orang-orang di sekolah, kedai kopi, bahkan di jalanan. Semua orang sepertinya kenal dia dan ia sendiri juga disukai oleh semua orang. Di sisi lain, aku merasa tidak ada seorang pun selain Billy yang benar-benar mengenalku. Setiap harinya, aku merasa sendirian dan aku juga merasa tidak ada seorang pun yang mempedulikanku kecuali sahabatku yang satu ini. Aku menatap Billy dan berusaha untuk mengetahui rahasia di balik kepopulerannya itu.
Awalnya aku berpikir dengan memiliki banyak barang bagus dan bermerek, aku bisa jadi terkenal seperti Billy. Demi keinginanku untuk menjadi populer, aku mengikuti beberapa trend yang ada juga seperti memakai baju oversized, celana robek-robek, jam tangan rolex, sepatu nike airmax, dan masih banyak lagi. Semuanya telah kucoba, tapi lagi-lagi, orang yang mempedulikan perubahan-perubahan itu hanyalah Billy, sedangkan orang lain di sekitarku hanya melirik sebentar lalu pergi. Aku merasa tidak puas dengan apa yang aku punya. Rupanya, apa yang aku miliki tidak membuatku populer semudah itu.
Sekali lagi, aku menatap Billy dengan penuh keheranan. " Kenapa, Bro? Ngeliatin gue kayak lagi ngeliatin apa aja," ucapnya yang membuatku malu sendiri. " Jangan-jangan lu gay ya ngeliatin gue mulu?"
" Ihh, nggak lah. Gue cuma penasaran tentang bagaimana lu bisa sepopuler sekarang ini," tanggapku dengan jujur. Ia terdiam sejenak lalu ia mulai berkata lagi. " Jadilah diri lu sendiri aja. Terkadang, menjadi pribadi yang sepenuhnya diri lu sendiri itu jauh lebih baik dibanding mencoba untuk menjadi orang lain yang menurut lu populer. "
" Iya sih. Gue tahu. Akan tetapi, gue kayak merasa menjadi diri gue sendiri doang nggak cukup untuk bikin gue populer. Lu pasti tahu lah." Ia mendesah dan mengangguk. " Lihat dari sisi positif saja. Kamu sering memenangkan lomba karya tulis hingga ke tingkat internasional. Penulis-penulis di Indonesia pasti mengenalmu, Xel. Menurut gue, itu jauh lebih keren dibandingkan menjadi populer di kalangan masyarakat sekitar kota ini."
Ucapan Billy memang ada benarnya juga. Banyak penulis terkenal mengenaliku dan beberapa di antara mereka sengaja membeli buku-buku yang kutulis untuk mempelajari gaya menulisku. Namun, aku tetap saja tidak puas. Terkenal di kalangan penulis menurutku masih biasa saja. Toh, di luar sana, masih banyak yang tidak mengenalku, bahkan di sekolah pun tidak ada yang benar-benar mempedulikanku dan karya-karyaku.