Lihat ke Halaman Asli

Prenuptial Agreement, Antara Perlu dan Tidak?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10.06.2011

Seperti biasa makan siang hari ini aku lewat kan dengan pacarku, calon suamiku lebih tepatnya. Kami memilih menu yang berbeda untuk kali ini. Soto ayam yang letaknya tak jauh dari kantornya jadi pilihan kami. Sengaja tidak duduk di hadapannya, namun sedikit berbeda dari kebiasaan aku duduk di sebelahnya. Tak lama menunggu, pesanan pun datang. Sambil menikmati makanan, obrolan mulai mengalir.

Entah dari mana awalnya pembicaran itu dimulai. Tapi kami sampai pada topik mengenai perjanjian pra nikah atau kerap disebut Prenuptial Agreement. Tidak seperti perjanjian nikah pada umumnya yang kerap berbicara mengenai pengaturan harta. Perjanjian  pranikah yang aku tawarkan disini adalah mengenai jaminan kenyamanan pernikahan. Maksudnya bahwa aku ingin mencari jaminan bahwa dalam pernikahanku nantinya jauh dari masalah perselingkuhan dan KDRT, yang notabene itu adalah masalah klasik yang kerap terjadi dalam rumah tangga. Dan kecenderungannya, pihak yang kerap dirugikan dalam hal ini adalah pihak wanita.

Selain dari pandangan itu, aku menyadari bahwa pengalaman hidup juga mempengaruhi keinginanku ini. Dari mulai ayahku yang menjadi figur kurang baik dengan perselingkuhannya, sampai masalah dengan mantan pacarku yang beberapa kali mengecewakan dengan juga perselihgkuhan yang ditambah KDP (Kekerasan dalam pacaran ;-) ) walau masih dalam tahap tidak separah seperti cerita di koran-koran ibukota.

Ku kira dengan gelar sarjana hukum yang dia kantongi dan cukup luasnya wawasannya dia akan mendukung ide ku ini. Tapi ternyata ide yang aku lontarkan malah jadi lemparan balik untuk aku. Pointnya tidak ada kesetujuan dari dia untuk membuat perjanjian pranikah ini. Apa alasannya? Hanya singkat, bahwa lembaga pernikahan bukannya lembaga untung rugi, tapi memang suatu lembaga yang berasaskan kepercayaan murni. Aku memcoba untuk menjelaskan ide ku ini bahwa maksudku disini untuk kepentingan dan kenyamanan bersama. Anggap saja bahwa itu sebagai warning untuk tidak melanggar aturan-aturan lisan sebuah pernikahan.

Namun tetap saja dia menutup pikirannya, tanpa sedikit pun menunjukan pertimbangan atas pendapat yang aku lontarkan. Hingga pada puncaknya muncul perkataan dengan sedikit ancaman aku rasa, bahwa jika aku masih tetap bertahan dalam konsep yang menurutnya salah ini. Maka apapun yang tertuang dalam perjanjian pranikah, akan dia langgar dengan kepala sadar. Misalnya saja bahwa adanya tertulis bahwa jika ada salah satu dari pasangan yang berselingkuh, maka otomatis yang bersangkutan akan kehilangan hak asuh anak dan harus bersedia meninggalkan rumah bersama. Dan tau dia bilang apa? aturan itu akan menjadi alasannya untuk meninggalkan rumah secepatnya andai rasa bosan pada rumah tangga. Menjadi senjatanya juga untuk melepas tanggung jawab dari kepala keluarga. Ini kah lelaki yang ingin sekali aku nikahi??

Apa tujuanku membuat perjanjian pranikah untuk melihat suamiku kelak meninggalkan rumah? tentu saja tidak. Karena secara jujur aku ungkap bahwa apa yang aku lihat dari sifat-sifat nya belum banyak aku menemukan jaminan bahwa hatiku tak akan terluka.

Ini hanyalah sebuah ide dari kepalaku untuk memberiku keyakinan masa depan. Mungkin orang bilang ini trauma dari pengalamanku. Tapi biarlah, aku ingin melihat apa yang bisa kami lakukan untuk mengatasi perbedaan ini. Silahkan menilai, perlu apa tidak nya sebuah Prenuptial Agreement.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline