Lihat ke Halaman Asli

Filsafat sebagai Potensialitas Manusia

Diperbarui: 21 Desember 2022   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manusia ialah bagian dari dimensi yang dikatakan sebagai potensialitas karena bisa menciptakan kemungkinannya sendiri. Jadi potensialitas manusia disini tidak diartikan sebagai sebatas potensi atau kemampuan, melainkan segala kemungkinan yang menjadi milik manusia. Tetapi, dalam potensialitas manusia hanya satu yang diakui sebagai sebuah kemungkinannya sendiri dalam setiap proses manusia. Semakin manusia paham akan asal-usulnya itu sendiri, maka makin pula ia 'memiliki' kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas jumlahnya.

Pada permulaan potensialitasnya masih luas, ia masih dapat menjadi apapun yang diinginkan dan masih menerima ketentuan-ketentuan yang ada. Potensialitas substantial adalah dasar dan cakrawala terakhir bagi semua kemungkinan substansi, seakan-akan merupakan pengakuan tanpa batas tertentu. Potensial murni merupakan suatu unsur yang belum ditentukan yang masih menunggu dan menantikan penentuan yang harus diterimanya. Sebuah potensi tidak dapat ditemukan dengan memakai eskperimen atau analisis ilmiah, maka seluruh konsep 'potensi' sebagai 'realitas'. Potensialitas dianggap syarat mutlak untuk menerangkan proses perkembangan organis dan jenjang kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang tak terduga di dalam alam dunia.

Filsafat modern, mulai dari Descartes, menolak konsep ‘potensi’. Karena dengan timbulnya ilmu pengetahuan eksakta, maka ‘potensi’ substansial dengan aspeknya yang lebih khusus menjadi bayangan sebagai suatu sifat atau hal yang tidak nyata di dalam substansi. Namun hanya Leibniz yang berusaha memakai kembali ‘potensi’ di dalam penyusunan teorinya mengenai ‘monas’. Menurut dia realitas terdiri dari kumpulan-kumpulan ‘monas-monas’. Dan setiap ‘monas’ merupakan sentrum atau titik ‘daya’ (potensi) yang bukan berkeluasan dan bukan materiil. Pada taraf-taraf lebih tinggi monas itu sekaligus merupakan kesatuan kesadaran. Pada abad ke-20 ilmu pengetahuan meninggalkan gambaran dunia yang berciri mekanis. Maka baik ahli filsafat maupun ahli ilmu pengetahuan lain akhirnya kembali lagi kepada pengertian ‘potensi’.

Potensialitas manusia atau kemampuan untuk ‘memanusia’ itu pada permulaan minim sekali, menurut aspek komprehensif dan ekstensif. Lama-kelamaan berkembang sesuai dengan historisitas manusia. Potensialitas itu memiliki juga masa lampau dan masa depan, yang mengandung janji dan ramalan. Dengan demikian potensialitas makin mendalam dan menjadi padat, yang menghasilkan potensi baru yang lebih ekstensif dan komprehensif.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline