Lihat ke Halaman Asli

Merindu

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jakarta, 25 Oktober 2010

Siang ini hujan di sini. Kemarin juga. Aku berani bertaruh jika hujan seperti ini turun terus hingga nanti malam pasti air akan menggenang di mana-mana; meluap dari selokan, kali, jalanan, halaman. Banjir.

Ah...itu hanya selingan saja karena aku tidak tahu harus mulai menulis apa di awal suratku ini. memang aku suka menulis apalagi menulis surat untukmu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku seperti kehilangan kisah untuk dibagikan padamu. Biasanya surat-suratku selalu dimulai dengan pertanyaan; tentang kabarmu, tentang keadaanmu,..tapi kali ini aku mencoba untuk tidak bertanya apapun. Rasanya bagiku akan aneh memang karena aku terbiasa untuk bertanya tentang ini itu; seolah aku ini adalah manusia paling bodoh di planet ini. hahaha....tapi biarlah. Kadang memang aku harus berhenti bertanya-tanya apalagi kepadamu. Aku (sepertinya) tahu kalau kamu tidak begitu menikmati persoalan tanya jawab. Tapi tak mengapa karena rasanya memang hidup ini sudah cukup banyak dipenuhi macam-macam persoalan sehingga mungkin tidak perlu lagi aku menambah-nambahnya.

Kita memang jarang sekali bertemu. Pertemuan yang terakhir – yang aku masih bisa ingat – adalah ketika kamu mendapat indekos yang baru di dekat kampusmu sekarang. Belum lama ini. mungkin awal bulan lalu kalau aku tidak salah ingat. Aku pernah bilang kalau di dalam hidup ini ada kalanya kita perlu kekuatan untuk merindu. Tapi rasanya aku yang tidak sanggup untuk tinggal dalam kerinduan ini terlalu lama. Beda dengan dirimu. Kamu – aku yakin – sangat bisa. Dan kamu sudah membuktikannya – karena sekarang ini kamu memang sudah hilang. Dan aku...yah..aku hanya bisa bermimpi. Ingin rasanya berhenti bermimpi. tapi sulit. Karena jika aku tidak menemuimu dalam mimpiku ketika aku tidur, bayanganku tentangmu bisa saja muncul sewaktu-waktu. Saat duduk mendengarkan kuliah, saat mencuci pakaian, saat mengerjakan tugas, atau yang paling sering adalah saat aku menulis buku harian dan terdiam dalam doa.

Maaf – meskipun kamu berpikir bahwa aku tidak bersalah apa-apa – karena aku mulai masuk dalam duniamu lagi lewat surat ini. Aku janji, setelah ini aku akan mundur perlahan-lahan karena Kamu punya hidupmu sendiri dan aku tidak ingin masuk di dalamnya lebih dalam.

Sebenarnya aku ingin menganggapmu sama dengan yang lain. Toh teman-teman yang lain juga tidap pernah aku surati sebanyak ini. Memang aku sering memikirkan kalian semua, tapi tidak sesering dirimu. Aku tidak tahu denganmu. Aku ingin bertanya. Ingin sekali. Tapi aku kan sudah janji kalau aku tidak akan bertanya dalam suratku ini. Jadi biarlah pertanyaan itu tetap tersimpan dalam benakku. Aku beharap kamu menyimpan hal yang sama.

Maaf kalau aku juga menjadikanmu pelarian. Tapi sekarang tidak lagi. Semakin aku menjauh semakin aku mampu untuk berelasi dengan tepat. Aku tidak minta apa-apa darimu. Tidak ada. Aku hanya tidak tahan tinggal dalam perasaan ini.

Aku tidak tahan untuk memendamnya terlalu lama.

Tapi aku takut dengan kejujuran. Kejujuran yang bisa menjadikan menara harapanku hancur menjadi debu yang lalu hilang diterpa angin.

Aku takut dengan jawaban biasamu. Yang akan menjadikan emas sama berharganya dengan batu-batu kecil di tepi sungai.

Aku takut mimpi indah ini menjadi kenyataan yang hanya akan membuahkan penyesalan. Penyesalan karena mimpi indah itu hanya akan membawa kekecewaan.

Aku takut duniamu akan berubah hanya karena satu orang temanmu yang tidak bisa menahan diri untuk berpura-pura tidak menyimpan rasa apapun terhadapmu.

Aku takut. Aku penakut.

Hahahaha.....tapiaku masih bisa tertawa teman.

Kau juga bisa kalau kamu mau. Aku masih ingat caramu tertawa.

Bahkan ketika tawa itu hanya seperti obat sakit kepala.

Caramu tersenyum juga masih aku ingat. Senyummu manis.

Tapi senyummu bukan gula-gula yang bisa dibeli kapan saja dan kalau terlalu banyak menikamtinya bisa bikin sakit gigi.

Mungkin sampai sini kamu mengira aku bebricara melantur, tentang orang lain. tapi percaya-lah ini tentang kami. ya Kamu yang sedang membaca tulisan ini.

Hanya ada satu kamu. Mungkin yang lebih menarik banyak. Tapi kamu hanya ada satu. Hahahaha.....maaf aku tertawa lagi hanya untuk menghalau rasa kantuk dan takut. Tapi selain itu ya karena tertawa itu gratis.

Baik teman. Mungkin sekian saja suratku. Tadi aku bohon kalau aku tidak minta apa-apa darimu. Aku ingin minta sesuatu: bahwa kamu harus menatap masa depan dengan tegar, jangan menyerah, dan jangan pernah menyerah hanya karena kamu merasa sendiri. Ingat pembatas buku itu saja. Kamu tidak pernah sendiri. Aku tidak janji bisa menemanimu. Tapi aku tidak pernah lupa kamu kecuali aku mengalami amnesia. Itu saja teman, aku hanya minta itu. Jangan cari kebahagiaan di luar dirimu, itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Hahaha...serius ini.

Selamat berjuang teman. Tuhan memberkati. (jawab amin coba....)

Teriring doa

Temanmu

∏Œ

Nk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline