Lihat ke Halaman Asli

Antropologi; Struktural dan Fungsional

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Annisa Nur Fadhillah

Kehidupan manusia secara alamiah terdapat keteraturan untuk mencapai suatu keseimbangan hidup manusia. Keseimbangan ini diwujudkan dalam wilayah sadar maupun ketidaksadaran masing-masing individu. Namun, kebanyakan kita melalui tahap proses kehidupan secara tidak sadar. Hal itu ditunjukkan dari 90% lebih bahwamanusia melakukan sesuatu hampir tanpa kesadaran. Tanpa sadar disini seperti aspek makan, misalnya kita mengonsumsi apel dan kemudian kita memasukkannya ke dalam mulut. Hal tersebut terjadi begitu saja dan berlangsung sedemikian cepat prosesnya. Meskipun demikian, hal yang dilakukan dalam tingkat kesadaran rendah bahkan tanpa sadar dikategorikan sebagai hal alamiah. Hal alamiah juga terjadi diaspek antropologi. Dari mengangkat konsep struktural ini, pada awalnya tingkat kesadaran mengenai hal ini sangat rendah hingga tanpa sadar namun, penggalian pengetahuan yang mendalam mengarahkan pada kesadaran bahwa hidup ini dalam keteraturan dan dikukuhkan dalam teori-teori keteraturan tersebut sebagai pengembangannya.

Telah disebutkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keteraturan. Disinilah konsep awal sebuah struktural dibentuk. Hal tersebut terjadi karena dalam artian struktur merupakan cara sesuatu disusun atau dibangun; yang disusun dengan pola tertentu; pengaturan unsur atau bagian suatu benda; ketentuan unsur-unsur dari suatu benda (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi elektronik). Menurut Keesing (1981:208) mengatakan bahwa baik pola perilaku maupun sistem konseptual mempunya “struktur”, dalam artian tidak kacau-balau atau sembarangan. Penjabaran diatas menjadikan keterkaitan antara struktur dan keteraturan. Adanya struktural ini memberikan tinjauan prespektif terhadap antropologi. Dari struktur yang ada, pengelolaan terhadap pengetahuan mengenai cara manusia dan keanekaragaman manusia dapat ditinjau lebih mendalam.

Pengetahuan terhadap struktur pada Antropologi dapat dilihat dalam metode-metode untuk pengembangan antropologi sendiri. Dalam buku “Sejarah Teori Antropologi” oleh Koentjaraningrat menjelaskan Van Ossenbruggen telah menganalisa sistem macapat di Jawa, dalam karangannyan De Oorsprong van het Javaansche Begrip Montja-pat in Verband met Primitieve Classification (1917). Sistem macapat di Jawa adalah sistem federasi antara satu desa induk dengan empat sub-desa yang terletak di sebelah utara,timur, selatan dan barat desa induk itu, untuk bekerja sama dalam saat-saat ada bencana, dan untuk memberantas kejahatan. Dalam hal itu, ia mempergunakan teori Durkheim dan Mauss (hlm. 89-102 diatas) mengenai cara klasifikasi oleh manusia yang hidup dalam masyarakat primitif. Sistem pembagian masyarakatlah yang menjadi kerangka umum untuk segala macam klasifikasi dalam segala bidang berpikir dalam kebudayaan yang bersangkutan. Dengan demikian menurut Van Ossenbruggen sistem macapat menjadi kerangka klasifikasi dengan lima kategori dengan satu kategori pusat uang dikelilingi empat sub-kategori, dan ke dalam kerangka itulah digolongkan segala macam konsep yang dikenal dalam kebudayaan jawa. Dari uraian ini menjelaskan bahwaadanya struktur yang jelas menyebabkan peninjauan sebuah kebudayaan sebagai hasil cara dan keanekaragaman manusia dapat dikemukakan secara lebih luas.

Dalam aspek fungsional, keterkaitannya terhadap Antropologi berhubungan dengan pengembangan konsep keduanya. Struktural dan fungsional adalah kedua konsep yang mengakibatkan hubungan timbal-balik antara keduanya. MenurutRobert K. Merton, fungsional adalah : konsekuensi teramati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Sistem tertentu merupakan unsur penting yang memberikan gambaran terhadap struktur. Dari peninjauan ini, fungsional sebagai akibat yang ada mendapat peran untuk membangun sistem yang menuju keteraturannya. Dalam pengembangannya, teori fungsional terhadap kebudayaan dijelaskan oleh Malinowski dalam “Sejarah Teori Antropologi” oleh Koentjaraningrat bahwa inti teori dari fungsi unsur-unsur kebudayaan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (1982:171).Dengan faham ini, kehadiran human needssebagai rangkaian yang perlu dipuaskan membantu menjelaskan permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

Uraian diatas menunjukkan bahwa struktural dan fungsional dipandang sebagai aspek berlangsungnya hubungan timbal-balik diantara keduanya.Keteraturan yang terjadi pada tinjauan elemen yaitu manusia mewujudkan konsekuensi dalam kepentingan suatu sistem. Penguatan hal ini yang terus menerus menyebabkan sudut-sudut kebudayaan dapat diangkat dan dikembangkannya secara optimal dan mendalam.

Sumber :

Keesing, Roger M.1981. Antropologi Budaya; Suatu Prespektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. 1982.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline