HARI ini Kompas.com menurunkan berita tentang keprihatinan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring yang mendapatkan data dari Komisi Perlindungan Anak bahwa 97 persen siswa sekolah menengah pertama (SMP) sudah pernah menonton video porno. Gila bukan?
Jika saja data ini benar adanya, maka tentu akan meresahkan para orang tua. Betapa tidak, selain 97 persen siswa SMP pernah nonton film porno, data yang pernah dirilis KPA sebelumnya juga telah menemukan 67,2 persen siswi SMP sudah tak lagi perawan.
Menurut Pak Tif, semua ini tak lepas dari faktor mudahnya mendapat keping VCD/DVD di samping internet yang juga turut mendukung suburnya penyebaran materi porno. Sebagai menteri yang bertanggungjawab di bidang komunikasi dan informatika termasuk di dalamnya internet, tentu saja wajar jika ia prihatin.
"Coba saja kalau ketik kata SMP dan SMU di Google Search. Maka, yang keluar adalah listing situs porno, seperti SMP bugil, SMU bokep (film porno), bukan keterangan informasi seputar SMU, kegiatan ekstrakurikuler, dan lainnya," ujar Tifatul pada acara breakfast meeting, Kamis (17/6/2010) di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, seperti dikutip Kompas.com.
Atas berita tersebut, dalam artikel ini saya akan mengutipkan beberapa pandangan Ketua Komisi Perlindungan Anak Seto Mulyadi untuk mengatasi peredaran video porno, seperti dikutip di sebuah media online:
-Seharusnya guru dan orang tua lebih meningkatkan upaya pendekatan diri dengan melakukan dialog yang terbuka kepada para anak-anak dan remaja.
-Kalau memang anak-anak sudah telanjur menonton, tanyakan pendapatnya tentang apa yang sudah ditontonnya itu. Kemudian memberikan penjelasan bahwa itu tidak baik untuk ditiru. Dengan cara seperti ini, posisi anak merasa dihargai tetapi tingkat penasarannya tidak terlalu dibebani. Dan yang pasti, kemungkinan untuk pengulangan yang akan terjadi di kemudian hari, kecil akan dilakukan kembali. Sebab anak akan paham tentang yang baik dan tidak baik untuk ditontonnya berkat dialog dan pembelajaran yang dilakukan oleh orang tuanya.
- Jika anak sudah telanjur mengetahui dan mengkonsumsi video yang belum pantas untuknya, dalam hal ini, bukan anak yang salah meskipun akhirnya dia ikut mengkonsumsi video ini. Orang tua atau orang dewasa di sekitarnya, jangan terlalu cepat-cepat kebakaran jenggot untuk menyimpulkan bahwa anak yang bersalah. Kalau anak-anak selalu disalahkan, justru akan mengganggu perkembangan dan psikologis anak tersebut. Anak-anak akan merasa tertekan, merasa disalahkan, tidak bisa tidur, tidak konsentrasi, menjadi pendiam dan sebagainya yang sangat tidak baik untuk anak.
Untuk itu seharusnya para orang tua di sekitarnya melakukan cara-cara seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Dalam hal ini, posisikan anak-anak sebagai korban dalam kondisi yang tidak kondusif, bukan selalu menyalahkannya.
Demikian postingan ini. Semoga bermanfaat
Ilustrasi: www.metrogaya.com