Telah lahir sebuah bangsa seiring semburat bangbang wetan mengawali pagi menyongsong matahari. Sebuah bangsa yang manusia-manusia mampu menyandingkan Betara Brahma dan Betara Kala dalam satu meja; duduk bercengkerama, menikmati kopi, udud kretek, sesekali bergantian menjalankan bidak-bidak catur tanpa tahu siapa yang akan memenangkan. Bangsa ini tak bisa mati hanya karena tak terpenuhi kebutuhannya, bahkan mereka rela membakar lumbung pangan mereka sendiri dengan senang hati. Racun-racun kehidupan adalah santapan sehari-hari, bukan lantas keracunan lalu mati namun imun dalam tubuh mampu mendetoksifikasi sehingga racun pun hanyalah menjadi camilan sahabat nge-teh di sore hari.
Bangsa Anomali; pagi sarapan janji, petang dikeloni janji; begitu tutur seorang resi pejalan sunyi. Manusianya tak pernah mempedulikan siapa memimpin apa, siapa memimpin siapa, apa dipimpin siapa, siapa dipimpin siapa, yang mereka ketahui adalah ‘aku berkehendak atas Aku’. Ketika bangsa-bangsa lain berbicara tentang policy, bangsa ini seolah-olah mengikuti padahal hanyalah sebatas nglegani, karena bagi mereka akal budi jauh lebih diatas policy dan nglegani adalah bagian dari akal budi yang disamarkan. Bangsa ini boleh dikatakan sakti karena mampu menciptakan Kawah Chandradimuka-nya sendiri; terpaan mortir berbalut kebudayaan, kebijakan ekonomi dan sosial kemasyarakatan dari luar diri hanya dianggap alat penguji sebagaimana yang dialami oleh Wisanggeni; keyakinan akan tidak atau selamat dirinya bukan diukur dari seberapa keras tindasan yang dialami, malah membuat dirinya semakin sakti. Semboyan Vivere Pericoloso yang pernah dipekikkan seorang begawan revolusi perjuangan bukanlah awal dari perjuangan baru, melainkan bagian dari proses kehidupan yang pada perjalanannya semakin menguatkan sifat ‘ora tedhas tapak paluning pande’ dalam diri bangsa ini.
Bangsa Anomali, Bangsa Berdikari. Berdikari bukan hanya sebatas akronim Berdiri di Atas Kaki Sendiri namun sudah melampaui berdiri di atas gerbong kereta api tanpa asuransi, berdiri diatas tower tegangan ekstra tinggi tanpa piranti safety, berdiri (aksi) diatas ranjang lokalisasi demi biaya sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari, bahkan berdiri di dalam negeri yang tak memiliki harapan pasti. Bangsa ini menganggap penyelenggara negara hanyalah media unjuk eksistensi antar negeri yang bersifat materi karena bangsa ini telah lebih dahulu mengenal yang ‘sejati’ (‘a-dzat-i). Inilah Bangsa Anomali yang mampu menipu bangsa lain dengan seolah-olah ditipu, bangsa yang mampu bersedih dengan cara bergembira, bangsa yang mampu berkarya dalam diam, bertapa dalam keramaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H