Lihat ke Halaman Asli

Goa Gong - Tabuhan: Musiklopedia Alam di Sudut Pacitan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingat dengan film “August Rush” tahun 2007? Drama besutan sutradara Kirsten Sheridan dengan pesan manifes, tentang harmonisasi bunyi-bunyian alam yang melahirkan musik di sekitar kita. Penjelajahan saya kali ini membuktikannya. Bersama Gebrakers, para petualang gila ranking 1. Yuk simak jejak kami di kota kecil 1001 goa, Pacitan. Pilihan pertama jatuh pada Goa Gong. Konon, Gong disebut-sebut sebagai ikon goa horizontal terbaik di sepanjang bentang Asia Tenggara. Meski jalur akses menuju lokasi cukup berliku dan berselimut tebing-tebing curam, namun peluang nyasar relatif kecil. Sebab sudah banyak petunjuk jalan yang amat membantu. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan via darat (mobil/motor) dari sentral kota Pacitan.

Saat kami tiba, kondisi pengunjung sedang sepi. Jalur masuk dari area parkir sudah sangat dekat dengan loket penjualan tiket. Tidak perlu khawatir jika membawa rombongan bis besar, karena lahannya memang cukup luas. Untuk sampai ke mulut goa, kami harus melewati tangga berundak naik. Dua buah stupa perwayangan khas Jawa menyambut gagah. Bagi yang memiliki phobia kegelapan, silahkan meladeni tawaran tukang senter disana-sini dengan tarif Rp 3000,- saja. Jasa pemandu juga tersedia untuk menyempurnakan cerita seputar historikal goa selama penelusuran. Di luar dugaan saya, memasuki sisi dalam Goa Gong justru terasa seperti berjalan di sebuah museum. Internal goa sudah sangat termodernisasi. Langit-langit goa demikian luas. Hamparan stalakmit dan stalaktit berukuran raksasa mendominasi ruang. Berkomuni rapat dan beberapa menyerupai bentuk kulit luar jagung atau kaki gurita. Teksturnya cenderung kering dan berwarna gading. Sambung-menyambung dari satu sudut ke sudut lain. Nampak seperti akar atau tirai yang bergelantungan anggun. Cukup dengan menepuk telapak tangan kita ke permukaannya, maka akan terdengar bunyi-bunyian berdengung. Persis menyerupai suara alat musik Gong.  Semakin ke bawah, semakin banyak tetesan air dari pucuk stalakmit dan stalaktit tadi. Membuat pijakan kaki terasa sedikit licin. Goa ini juga dipercantik dengan kehadiran “Sendang Panguripan”, yaitu sumber mata air di dalamnya.

Terus terang, beraneka ‘gimmick’ dan fasilitas di dalam goa malah mengurasi impresi bagi saya. Lampu-lampu hias dengan varian ukuran dan warna menyebar di segala penjuru. Memang memudahkan pengunjung untuk berjalan di kegelapan, tapi kuantitasnya terlalu banyak. Rangkai pinggiran tangga besi menjulur dari ujung ke ujung goa, memudahkan pengunjung untuk berjalan bahkan berfoto. Cukup bersih dan nyaman. Gong dikemas terlalu mewah untuk ukuran petualang goa. Seolah mengurangi unsur mistisnya. Pilihan kedua jatuh pada Goa Tabuhan. Kata “Tabuhan” memiliki arti akar batu yang bergelantungan dan menghasilkan bunyi irama Gamelan Jawa. Lokasinya hanya berselang 20 menit dari Goa Gong. Bedanya, Tabuhan memiliki mulut goa yang melebar dan sirkulasi yang lebih terbuka. Gejala karst masih terlihat lebih natural disini. Tidak banyak lampu penerang yang membantu pengelihatan saat berpijak di dataran goa yang basah ini. Udara di dalamnya pun terasa lembab. Stalakmit dan stalaktit sesak menumpuk membuat kami berjalan dengan posisi menunduk setengah badan. Ketika melaju langkah di 10 meter pertama, terdapat panggung pertunjukan berbahan dasar batuan tumpuk. Masih sangat alami.

Lebih jauh ke dalam, suasana goa semakin pekat kehitaman. Kami menemukan lokasi pertapaan kecil yang agak tersembunyi. Hanya muat dimasuki oleh 1 orang. Pemandu kami menceritakan bahwa di masa perjuangan, Tabuhan sering dijadikan tempat persembunyian tentara atau bahkan pahlawan-pahlawan dari tanah Jawa.

Lalu ini dia puncak musiklopedia alam yang paling istimewa. Sebelum keluar goa, kami bisa menyaksikan pertunjukan Gamelan Jawa dilakukan di dalamnya. Dengan 2 wanita muda sebagai pesinden, 1 pria penabuh gendang, dan 2 pria penabuh relief goa. Yap, berbekal sebuah alat pemukul berbahan dasar kayu, mereka menghasilkan bunyian apik dari Goa Tabuhan. Membawakan tembang-tembang Jawa bertarif Rp 100.000,- untuk 5 lagu. Sahutan tembang tentang filosofi hidup manusia tersebut terdengar menyayat dan menyentuh sekali. As if, the cave spilled the sound in such a deep message. Sejujurnya, saya tidak pernah menobatkan agenda telusur goa sebagai destinasi favorit. Tapi seperti biasa, menjamah maha karya bersama Gebrakers jelas terasa berbeda. Oh dan tentu saja, alam Indonesia selalu menghadirkan senyum gemintang di wajah saya. “The music is all around you. All you have to do is listen.” *August Rush (2007) Andyna Sary 28 Desember 2011 Photos by: Bayu Ismaya, Asrizal Sabri Also available at: http://andynasary.tumblr.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline