A. Perkembangan Sosialisme
1. Sosialisme Lama
Dalam mempelajari sosialisme, Sjahrir melihat dua bentuk sosialisme yang berkembang secara historis. Pertama, sosialisme ketika penjajahan pada awal kapitalis muda sekitar abad ke-19. Pada fase ini, sosialisme merupakan ajaran perlawanan terhadap kaum penindas. Sifat dan ciri seorang sosialis pada fase ini adalah memusuhi kaum kapitalis dan yang berkuasa. Keyakinannya adalah perjuangan kelas tanpa belas kasihan. Perhatiannya dipusatkan untuk menggulingkan golongan kapitalis. Supaya dapat mendirikan kekuasaan kaum proletar dan kaum yang tertindas.
Pada umumnya sosialisme dirasakan sebagai suatu ajaran untuk melawan susunan kekuasaan dan masyarakat kapitalis. Pemberontakan merupakan cara yang dilakukan oleh kaum buruh dan proletar yang membentuk kekuasaan baru.[1] Pada waktu itu kaum kapitalis menganggap ajaran sosialis sebagai permusuhan terhadap mereka. Kaum kapitalis melihat rakyat miskin sebagai musuh yang selalu berusaha untuk menganiayanya.
2. Sosialisme Baru (Modern)
Sosialisme yang kedua adalah sosialisme pada abad ke-20. Sjahrir menyebutnya sebagai sosialisme modern. Menurut Sjahrir, sosialisme modern sebagai ajaran untuk menyusun pergaulan hidup atas dasar yang berbeda dengan ajaran sosialisme lama. Sifat sosialsime modern ini adalah sifat kemanusiaannya. Sifat ini memuat persamaan, keadilan, serta kesanggupan kerja sama antar manusia. Hal ini merupakan dasar kehidupan di dalam pergaulan masyarakat. Sifat sosialisme ini berlandaskan kepercayaan akan kesanggupan manusia serta penghargaan dan cinta sesama. Sosialisme ini meninggalkan landasan sosialisme lama, yakni kecurigaan dan kebencian terhadap sesama manusia.
Sifat-sifat sosialisme modern ini hanya dapat tumbuh di dalam keadaan ketika pengikutnya tidak lagi merasakan tindakan sewenang-wenang. Tindakan seeorang yang diperlakukan tidak sebagai manusia melainkan sebagai hewan[2]. Hal tersebut yang mengakibatkan orang selalu hidup dalam ketakutan kegelisahan serta kehinaan. Pandangan serta keyakinan bahwa manusia sama derajatnya harus dijalankan untuk kebaikan bersama.
Sjahrir menganjurkan suatu perlawanan kaum sosialis tanpa kekerasan. Hal ini yang menunjukan bahwa Sjahrir meninggalkan prinsip pertentangan kelas. Prinsip ini merupakan gagasan dari Karl Max yang mendominasi ajaran sosialisme lama. Menurut Sjahrir, pertentangan antara kelas majikan kapitalis bukan prinsip universal, melainkan faktor historis ketika pihak yang memiliki alat-alat produksi dan kekuasaan saling membuat kesepakatan tersembunyi. Tujuannya yaitu untuk mengabaikan keadilan kaum buruh itu sendiri.
B. Sosialisme Sutan Sjahrir
1. Sosialisme Kerakyatan
Menurut Sjahrir, sosialisme yang diterapkan di Indonesia harus menjunjung tinggi nilai manusia. Sosialisme Indonesia tidak pernah menganggap adanya perjuangan kelas. Melainkan perjuangan seluruh rakyat untuk keluar dari penindasan. Sjahrir menganggap sosialisme Indonesia tidak berdiri atas kekerasan dan paksaan. Sosialisme Indonesia yang berlandaskan kerakyatan, diharapkan tidak akan menindas sesama rakyat Indonesia lainnya. Karena berlandasan pada kerakyatan, maka sosialisme yang diperjuangkan Sjahrir dikenal sebagai “sosialisme kerakyatan”. Ajaran Sjahrir ini mengikuti sifat dari sosialisme modern yang mengutamakan kemanusiaan dan persamaan derajat.
Gagasan Sjahrir tentang sosialisme pada dasarnya merupakan penggabungan antara sosialisme dan kerakyatan. Namun sosialisme Sjahrir memuat ide pembentukan manusia ideal, bebas, mandiri, rasional, dan tetap bahu-membahu kepada sesama. Pembentukan manusia yang ideal ini juga harus disertai dengan negara yang menjaga kondisi-kondisi tesebut.[3] Hal ini dapat dilihat dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada masa pergerakan nasional. Pertama-tama, Syahrir melihat bahwa yang harus dimerdekakan (dibebaskan) terlebih dahulu adalah kesadaran manusia Indonesia. Kesadaran ini bukan serta-merta untuk merdeka dari penjajah. Kesadaran ini membentuk manusia untuk berfikir secara rasional, dewasa, dan kritis. Sikap otonom dalam semua segi baik politik, ekonomi, dan sosial sangat ditekankan oleh Sjahrir.
Sjahrir menambahkan kata “kerakyatan” dalam ajaran sosialismenya. Sjahrir ingin menekankan bahwa sosialismenya sebagai sebuah penghayatan serta menjunjung tinggi dasar dan azas persamaan derajat manusia. Dalam perkembangannya terdapat sosialisme yang mengarah pada ajaran totaliterisme. Paham ini yang diajarkan oleh Stalin dan Lenin ketika memimpin Uni Soviet. Menurut Sjahrir, keduanya mengajarkan bentuk negara dengan pemerintahan yang terpusat (Negara dengan pemerintahan sentralistik yang disebut sebagai diktator partai komunis dengan partai tunggal). Dalam bentuk negara ini, menurut Sjahrir yang berdaulat bukan rakyatnya melainkan pemerintahannya. Rakyat sebagai komunitas yang mandiri dan dinamis menjadi lenyap dihadapan negara. Tiap-tiap komunitas atau individu yang bersuara lain akan disingkirkan atas nama negara. Nilai individu dengan kebebasan dan otonominya menjadi lenyap. Hal ini dikarenakan semua harus mengacu pada aturan-aturan pemerintah yang menjadi pusat dari segala kegiatan.
Kata “kerakyatan” bagi Sjahrir mempunyai latar belakang tersendiri. Ketika pergerakan nasional, Sjahrir melihat benih feodalisme. Benih ini terdapat didalam diri para pemimpin pergerakan. Ketika kemerdekaan telah dicapai dan upaya pembangunan Indonesia sedang dijalankan. Para tokoh-tokoh pergerakan yang telah menjadi pemimpin semakin menunjukan ke”ningratan”nya. Tokoh-tokoh tersebut menunjukan pola hidup mewah dan bangga dengan jabatannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, kata “kerakyatan” sebagai landasan kesamaan kesempatan dan kedudukan bagi seluruh rakyat. Istilah rakyat ini dimaksudkan sebagai penghormatan atas hak-hak rakyat. Bukan penghormatan untuk segelintir rakyat yang berstatus bangsawan dalam struktur masyarakat feodalisme.
Pandangan Sosialisme kerakyatan mulai diterapkan ketika Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri. Hal tersebut terlihat dalam beberapa program kabinetnya. Program tersebut memfokuskan pada kepentingan kerakyatan. Salah satu program kabinet Sjahrir adalah menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat.
2. Sosialisme Politik
Sosialisme Indonesia tidak hanya tentang pembebasan rakyat dari penindas. Sosialisme Indonesia juga membahas suatu pendewasaan bagi setiap rakyat. Pendewasaan ini dimaksudkan agar rakyat merdeka tidak secara nama saja. Rakyat juga berhak merdeka secara individu. Dalam rangka pendewasaan bagi rakyat, maka sisa-sisa feodalisme dan benih-benih fasisme harus dihilangkan. Pada zaman Belanda, sisa-sisa feodalisme digunakan sebagai tameng penghambat modernisasi rakyat. Sebagai bangsa yang merdeka, modernisasi sangat diperlukan. Terutama supaya Negara Indonesia dapat sebanding dengan negara-negara lainnya. Oleh karena itu, sifat-sifat feodalisme harus dihilangkan agar tidak menghambat kemajuan bangsa Indonesia.
Selain feodalisme, fasisme juga merupakan musuh bagi kemajuan suatu bangsa. Fasisme yang dibawa Jepang cepat sekali merasuki jiwa rakyat Indonesia terutama pemuda. Pemuda Indonesia selalu diajarkan untuk selalu tunduk dan mematuhi perintah pimpinannya. Tetapi tidak diajarkan untuk memimpin dan bertanggungjawab. Fasisme memiliki dasar bahwa perintah dari pemimpin bersifat mutlak dan tidak bisa disanggah. Penyebaran fasisme yang cepat di Indonesia disebabkan karena masyarakat yang mengindahkan kedatangan Jepang. Masyarakat Indonesia mempercayai bahwa Jepang akan mengeluarkan Indonesia dari penindasan kolonial Belanda. Masyarakat Indonesia beranggapan bahwa orang Jepang memiliki etika yang baik. Kesalahan inilah yang menjadi awal tumbuhnya benih-benih fasisme yang ditabur oleh Jepang di Indonesia. Bagi Sjahrir, menghilangkan benih-benih feodalisme dan fasisme merupakan suatu hal yang penting. Dengan demikian tujuan mendewasakan rakyat Indonesia dapat tercapai.
Pendewasaan rakyat Indonesia dapat dilakukan dalam segala bidang. Salah satu bidang yang penting yakni politik. Rakyat Indonesia tidak hanya berhak mendapatkan pendidikan politik. Mereka juga berhak dalam segala kegiatan-kegiatan politik. Dengan demikian negara tidak boleh dikuasai oleh golongan tertentu saja. Jika hal itu terjadi, maka akan mengakibatkan pemerintahan totaliter. Oleh sebab itu, Sjahrir menganjurkan Indonesia menganut sistem multipartai. Usulan Sjahrir tersebut bertujuan untuk menghindari perilaku sewenang-wenang dari pemimpinya. Sjahrir tidak hanya mempermasalahkan mengenai partai. Sjahrir juga mempermasalahkan sistem presidensil yang di terapkan bangsa Indonesia. Menurutnya sistem presidensil akan menghambat kesadaran rakyat terhadap politik. Selain itu sistem ini ditakutkan akan berubah menjadi otoriter. Oleh karena itu, Sjahrir mengajukan agar sistem presidensil diganti dengan sistem parlementer. Segala urusan pemerintahan menjadi tugas Parlemen. Presiden dan Wakil Presiden hanya sebagai kepala negara.
"artikel ini sudah pernah tayang di Info Tembalang.com. Pada tanggal 15 Febuari 2021"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H