Lihat ke Halaman Asli

Andy Fitrianto

Seorang guru yang waktu kecil pengen jadi baja hitam robo

Menjembatani Perbedaan Generasi dengan Pembelajaran Berdiferensiasi

Diperbarui: 15 Juni 2024   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagian besar dari para pembaca disini pastilah generasi X ataupun Generasi Y. Yaitu generasi yang lahir saat teknologi informasi belumlah maju seperti saat ini. Gen Z rasa-rasanya hanya akan membaca sampai tahap ini, bukan karena mereka malas, tapi kerena arah dan minat nya memang sudah berbeda.

Lahir dalam fase hidup yang berbeda bukan hanya perihal usia tapi juga perihal perilaku dan cara berfikir yang berbeda. Generasi X yang lahir pasca era perang dan tumbuh dalam ekomomi yang sulit tentu memiliki tingkat disiplin yang sangat tinggi, tahan banting dan memegang teguh nilai-nilai dengan sangat kuat. Sedangkan generasi Y atau milenial yang hidup pada masa peralihan teknologi analog ke teknologi digital memiliki pemikiran yang lebih terbuka, ambisius dan gesit dan masih memegang teguh nilai-nilai meski tak sekuat generasi X. Dua generasi ini masih dibesarkan dengan pola asuh dan cara mendidik yang identik. Guru dan orang tua dari dua generasi ini cenderung tegas, galak dan egosentris secara keilmuan. Hasilnya, Produk dari pendidikan ini memiliki kepatuhan yang berasal dari penerapan aturan-aturan yang tegas nan keras, agak kaku dan selalu menjadikan nilai rigid tersebut sebagai standar yang harusnya selalu di penuhi dalam mendidik anak ataupun murid. Masalah yang kemudian muncul adalah, standar rigid itu tidak selaras dengan perubahan disekitar yang dinamis. Pola didik dan pengajaran yang dielu-elukan generasi X dan Y sebagai pola ajar terbaik tersebut tidak bisa memuai ataupun elastis mengikuti dinamisnya teknologi dan serbuan arus informasi yang terus berubah sepanjang waktu. Disaat kesenjangan tersebut terjadi, lahirlah generasi Z. yaitu para individu yang lahir saat kemajuan teknologi telah menjadi bagian kehidupan yang juga merubah cara pandang mereka terhadap hidup.

 Seorang pelawak yang sering berpura-pura tuli itu bernama bolot, adapun orang-orang yang berpura-pura jika perubahan tak pernah terjadi itu namanya kolot. Guru tak boleh bolot dengan tuli akan informasi, guru juga tak boleh kolot dengan menolak beradaptasi. Menguatkan kemampuan beradaptasi tidak mesti harus memaksakan diri belajar coding, menjadi ultra open minded dengan menyerap semua budaya luar tanpa filter atapun menggunakan pembelajaran dengan full gadget dan teknologi kekinian. Adaptasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kesadaran yang harus dimiliki guru bahwa dunia memang berubah. Teknologi berubah menjadi lebih canggih, dan anak-anak kita juga berubah karena memang mereka tumbuh dan besar di lingkungan yang sama sekali berbeda dengan era dimana menyimpan hasil ketikan tugas masih di dalam floopy disk. Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran di kelas, haruslah disepakati jika guru bukan lagi centre of universe nya keilmuan. Memang berat rasanya menerima kenyataan bahwa ucapan dan penjelasan kita bukan satu-satunya general truth yang bisa murid kita dapatkan. Di luaran sana, murid bisa dengan mudah mendapatkan informasi yang mungkin saja tidak dengan akurat disampaikan oleh guru. Ilmu yang guru sampaikan, bisa jadi hanya pengantar yang kurang memuaskan dan mencerahkan, ada jutaan akses infomasi yang bisa melengkapi apa yang tidak guru miliki. Bisa jadi, murid saat ini lebih maju selangkah dua langkah daripada para sebagian besar guru perihal kemampuan menggunakan teknologi dan mengakses informasi. Karena ketertinggalan ini, mau tidak mau guru harus bertransformasi dari pusat informasi menjadi pemandu informasi. Guru harus mampu mengamalkan penggunaan teknologi informasi dasar yang bisa menunjang pembelajaran. Sebagai pemandu, guru seyogyanya bisa mengarahkan murid untuk dapat mencari infomasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien. Selain itu, guru juga harus mengajarkan etika literasi digital, baik itu tentang memilah infomasi yang layak dan tak layak untuk diakses, kejujuran dalam penggunaan informasi, dan kemampuan untuk memvalidasi kebenaran informasi. Paradigma berfikir dari guru sebagai pusat pembelajaran harus mulai dialihkan kepada pembelajaran yang berpusat kepada murid.

Berbicara lebih lanjut tentang pembelajaran yang berpihak pada murid, hal ini adalah fokus adaptasi kedua untuk para guru. Acapkali kita Dengar guru yang selalu mengeluh tentang mengapa kurikulum selalu berubah. Jawaban terbaiknya adalah; kurikulum berubah karena zaman dan manusianya juga berubah. Gen X dan Gen Y telah tumbuh dengan kurikulumnya masing-masing yang di adjust sesuai dengan karakter dan tantangan zaman kala itu. Murid-murid generasi saat ini (gen z dan alpha) tumbuh dalam iklim dan ekosistem yang berbeda, maka paradigma pendidikan pun perlu di sesuaikan mengikuti perubahan zaman dan perubahan karakter umum subjek nya yaitu para murid. Kurikulum Merdeka yang merupakan penerus dari K-13 menempatkan murid sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Murid adalah pusat dari pembelajaran, sehingga setiap materi, strategi ataupun unsur-unsur dalam pembelajaran lainnya harus dirancang sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan murid. Untuk mengakomodir hal itu, maka digunakanlah seperangkat strategi/prinsip dalam pembelajaran yang kemudian disebut sebagai Pembelajaran Berdiferensiasi.  Semangat utama dari pembelajaran berdiferensiasi adalah paradigma bahwa karakteristik, minat dan kemampuan murid sangat beragam, sehingga pendidikan harus menemukan cara agar setiap anak mendapatkan proses Pendidikan yang paling sesuai untuk mereka. Esensi inilah nampaknya yang ingin dicapai melalui kurikulum Merdeka dengan Pembelajaran Berdiferensiasi sebagai senjata utamanya. Ide tentang keberpihakan pada karakter murid yang beragam secara aspek kesiapan, minat, motivasi bahkan profil belajar membuat pembelajaran berdiferensiasi ini dirasa tepat dan representatif. (untuk saat ini)

Dipopulerkan oleh Dr. Carol Ann Tomlinson, ide pembelajaran berdiferensiasi sebenarnya bukan hal baru. Banyak ahli psikologi dan pakar pendidikan dari berbagai negara telah menyampaikan pemikiran tentang pembelajaran berdiferensiasi ini sebelumnya. Pada tahun 1990an di China, ide Pendidikan "one size fits all" atau satu pola didik untuk semua memunculkan keraguan tentang keefektifannya dalam menyasar pembelajaran pada seluruh murid di kelas.  Bahkan, jauh sebelum itu, filsuf China Confusius telah memiliki ide yang sama perihal mendidik anak sesuai dengan bakatnya. Namun, berbeda dengan konsep Confusius yang lebih menekankan pada personalized learning, atau pendidikan khusus untuk individu, pembelajaran berdiferensiasi, (Differentiated Instruction) lebih kepada penyusunan strategi atau pendekatan pembelajaran berbasis kelas yang dapat menyasar keberagaman murid yang ada didalamnya.

Agar pembelajaran yang dibatasi oleh waktu yang sempit dapat menyasar keragaman siswa dengan berbagai aspek, maka pembelajaran berdiferensiasi mengarahkan guru untuk memformulasi satu set pembelajaran dengan berbagai strategi dan pendekatan yang dilakukan secara simultan.  Proses pembelajaran yang beragam tersebut, kemudian akan ditopang dengan konten pembelajaran yang beragam pula yang dapat diambil dari video, artikel tertulis, infografis, rekaman audio dan berbagai jenis konten lainnya yang dibuat dengan tema yang beragam pula. Tema yang beragam ini umumnya ditujukan untuk menarik perhatian siswa yang memiliki minat akan hal-hal yang berbeda. Setelah melaksanakan proses pembelajaran yang variatif dan belajar dari sumber yang beragam, penilaian dan hasil kerja murid pun akan divariasikan mengacu pada kesiapan belajar/kemampuan, minat dan preferensi belajar mereka.

Hal yang kemudian menjadi pertanyaan besar adalah, apakah pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal? jika menilik dari aktifitas pembelajaran yang bervariasi mengikuti karakter dan kebutuhan belajar siswa, harusnya pembelajaran berdiferensiasi adalah paradigma pembelajaran yang paling ideal, namun untuk sampai pada hasil belajar yang optimal tentu saja tidak bisa serta merta disimpulkan secara general. sebaik-baiknya sebuah kurikulum, hal tersebut hanyalah sekumpulan arahan dan konsep pendekatan yang tidak berarti apa-apa tanpa aktor yang terlibat di dalamnya. ibarat sebuah film, kurikulum hanyalah script atau skenario. sebaik apapun skenario jika tidak dimainkan dengan baik oleh aktor didalamnya, maka film tersebut tidak akan memberikan kesan yang mendalam bagi penontonnya. begitupun kurikulum Merdeka dengan pembelajaran diferensiasinya yang tidak dilaksanakan dengan perencanaan dan eksekusi yang sungguh-sungguh oleh para guru yang merupakan aktor utama, hanya akan berakhir menjadi serangkaian instruksi pembelajaran tanpa makna.

Kurikulum Merdeka melalui pembelajaran berdiferensiasi, pada akhirnya bukan semata-mata hanya untuk mencapai hasil belajar semata, tapi juga berperan sebagai jembatan yang menghubungkan generational gap, atau jurang pemisah generasi yang renggang. Guru generasi X maupun Y harus terjun ke arus pembelajaran yang dinamis agar mampu mengikuti dinamisnya karakter dan pola pikir murid generasi Z maupun Alpha. Keengganan mencoba hal baru, menguasai teknologi informasi dan memformulasikan pendekatan pembelajaran kekinian adalah bentuk dari dua hal, entah itu karena romantisme terhadap pendekatan pendidikan masa lalu atau memang karena malas semata, hanya guru lah yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline