Oleh: Andi Cipta Asmawaty
Razia delapan pasang remaja di lokasi Bukit Lebak Tumpang, kawasan wisata Gua Selomangklen, menjadi berita regional kompas hari ini (13/5/2011). Aksi Satpol PP kemudian hanya mengamankan KTP saja tanpa harus menangkap pasangan tersebut. Kutipan “saya asli sini, Pak, Cuma pacaran saja kok” yang menjadi judul berita, diungkapkan oleh perempuan yang terjaring razia untuk menghindari stigma bahwa dirinya bukan pekerja seks.
Stigma pekerja seks memang betul-betul amburadul di tengah masyarakat yang gemar pamer moral. Pekerja seks sebagai pendosa, perempuan tanpa pikir panjang, profesi dengan standar ganda: dihina sekaligus banyak dicari para lelaki, terus selalu menjadi korban rentan atas kekerasan. Di sisi lain, eksplorasi kenikmatan seksual tanpa institusi perkawinan selalu dianggap tabu dalam masyarakat. Namun, tak pelak, rumah menjadi tempat yang dihindari. Sebab rumah adalah lahan kontrol moral. Strategi bagi eksplorer adalah dengan menggunakan tempat-tempat wisata, yang kental dengan momok gelap, rimbun, dan remang-remang. Berita kali ini, bukan sekali-dua kali. Pada surat kabar regional atau khusus segmen pembaca doyan berita kriminal, vulgar, dan semi porno, pasti warna berita ini selalu muncul menjadi santapan keseharian.
Hal ini yang tidak dapat kita saksikan di negara lain, yang lugas menerapkan prinsip kemerdekaan hak. Taman wisata sungguh difungsikan sesuai dengan fungsi ruang publik pada umumnya. Mereka beraktivitas pada ruang publik dan menciptakan ruang privat sekaligus tanpa ada penilaian. Taman wisata tidak memberi garis batas antara ruang publik dan privat. Bandingkan dengan taman wisata di Indonesia, garis batas itu sangat kentara. Harapan moral pada taman hanya sebagai ruang publik toh hanya isapan kemunafikan. Malam hari, wajah taman dapat menjadi ruang wisata seksual.
Praktik razia sebagai shock therapy bagi pasangan dikemukakan oleh Kasie Trantib Satpol PP. Kata-kata ini menjelaskan bahwa satpol PP adalah polisi moral yang juga tidak kalah munafiknya. Ini bukan sekedar generalisasi tanpa alasan. Pengalamanlah yang membuat saya berkonklusi. Dulu, ketika saya meneliti pasar tradisional dan sering masuk pos satuan keamanan. Pos tersebut menjadi tempat Satpol juga bermarkas. Obrolan tentang pekerja seks dikupas sadis. Diskusi soal tubuh perempuan jadi lawakan hingga fajar. Isu vagina dan payudara jadi topik asik yang ditemani oleh kopi, selain menonton bola atau bermain kartu. Pernah suatu kali, seorang komandannya membawa perempuan untuk “melayani”nya satu malam. Namun, laki-laki, adik perempuan tersebut lalu datang dan menarik perempuan itu pulang karena anak-anaknya menangis. Perempuan emoh karena ia harus mencari uang untuk susu anaknya. Ia berkata, anaknya menangis karena tak punya susu. Si adik tetap beringasan menarik tangan si perempuan. Lalu, datanglah si komandan dan menampar adiknya. Ia berkata, seorang laki-laki tidak boleh mengkasari perempuan seperti itu. Dan dengan sok bijak, ia meminta perempuan tersebut untuk pulang. Dari percakapan di atas, saya dapat menyaksikan: Si adik yang munafik melihat realitas kakaknya sebagai pekerja seks. Si komandan yang juga hipokrit menasihati untuk tidak mengkasari perempuan tapi memperlakukan tubuh perempuan sebagai objek. Tapi tetap perempuan, yang jujur untuk mencari uang susu anaknya meskipun dia pekerja seks.
Selain itu, kutipan “Saya Asli Sini, Pak, Cuma Pacaran Kok” menjelaskan hal menarik lain. Satu-satunya kutipan sasaran penjaringan berasal dari seorang perempuan. Penggunaan terminology “gadis” juga menarik untuk ditelusuri. Gadis yang “hanya pacaran” menjadi satu kesatuan yang dapat menjelaskan betapa seksisnya penulis artikel ini, yang memang laki-laki.
Sumber berita:
http://regional.kompas.com/read/2011/05/13/01263252/Saya.Asli.Sini.Pak.Cuma.Pacaran.Kok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H