Lihat ke Halaman Asli

Harta, Pemimpin, dan Kesejahteraan Rakyat

Diperbarui: 15 Desember 2016   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bagi siapapun kita, harta kekayaan telah dijadikan Allah sebagai sarana pemenuh kebutuhan sekaligus perhiasan dunia yang dapat melenakan. Oleh karena itu, begitu banyak ayat dalam Al Quran yang memberikan penjelasan sekaligus peringatan tentang bagaimana seharusnya kita memanfaatkan harta dan memposisikan harta di dalam kehidupan kita. Secara alamiah, manusia selalu tertarik kepada harta karena telah Allah jadikan indah harta kekayaan pada pandangan manusia sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 14. Pada ayat yang sama Allah juga memberi petunjuk bahwa sesungguhnya harta kekayaan hanyalah kesenangan hidup di dunia yang bersifat sementara, dibandingkan dengan tawaran Allah yang kekal yaitu tempat kembali yang baik (surga) di sisi Allah.

Dalam konteks yang lebih besar seperti dalam hal pengelolaan kekayaan negara dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara, prinsip yang sama juga berlaku. Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah menuliskan sebuah bab berjudul “Kebijakan Pembangunan Harus Mempunyai Strategi Agar Teratur”. Sebagai penjelasan di dalam bab tersebut, Ibnu Khaldun memuat surat Thahir bin Al-Husain kepada puteranya, Abdullah bin Thahir, ketika Al-Makmun Ar-Rasyid mengangkat puteranya itu menjadi gubernur di Riqqah, Mesir dan sekitarnya. Salah satu nasehat di dalam surat tersebut yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin dalam memandang harta ketika ia sedang berkuasa berbunyi sebagai berikut.

“Hindarilah sifat tamak. Hendaklah yang menjadi simpanan dan kekayaanmu adalah kebaikan, ketakwaan, memperbaiki rakyat, memakmurkan negeri mereka, meneliti urusan-urusan mereka, menjaga darah mereka dan membantu mereka yang lemah. Ketahuilah, harta jika disimpan dan ditimbun dalam gudang-gudang penyimpanan tidak akan bisa berkembang. Namun jika harta berada dalam kebaikan rakyat, memberikan hak-hak mereka dan menghindarkan kepedihan dari mereka, maka harta pun bisa berkembang…”

Pesan yang dituliskan berabad lalu ini mengandung sebuah konsep universal yang sangat relevan dengan kehidupan manusia di segala zaman. Pengukuran pertumbuhan ekonomi dengan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) maupun PDB per Kapita sebagai alat ukur telah banyak mendapatkan kritik karena ketidakmampuannya menggambarkan kondisi nyata kesejahteraan masyarakat.  “Harta” yang berhasil dihimpun oleh sebuah negara ternyata tak mampu menurunkan apalagi menghapuskan kemiskinan di negara tersebut.

Sebagai contoh, lihat saja negeri bernama Indonesia yang pada tahun 2015 memiliki PDB sebesar Rp 11.540,8 triliun atau tumbuh 4,79 persen, dan PDB per kapita mencapai Rp 45,2 juta atau US$ 3.377,1. Di tahun yang sama, penduduk miskin berjumlah 28,51 juta orang (per September 2015) atau meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 27,73 juta orang (per September 2014).  Lalu, mungkinkah pembangunan ekonomi menghapuskan kemiskinan?

Menengok sejarah kejayaan Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah kurang dari tiga tahun terbukti mampu menghapuskan kemiskinan dari wilayah kekuasaannya. Pada masa itu, tak ada lagi rakyat yang berhak untuk menerima zakat.  Saat diangkat menjadi khalifah, sikap beliau terhadap harta ditunjukkan dengan begitu gamblang dengan menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadinya kepada baitul mal untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat.  Khalifah Umar juga mengambil paksa harta yang disalahgunakan keluarga khalifah untuk dikembalikan kepada baitul mal. Memakmurkan negeri dengan cara membantu mereka yang lemah dan mengembangkan harta dengan memberikan hak-hak rakyat terbukti sebagai metode yang lebih efektif dibandingkan dengan “menyimpan dan menimbun” kekayaan pada segelintir kelompok apalagi jika kelompok itu adalah pemimpin berkuasa yang diamanahi tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline