Lihat ke Halaman Asli

Menghargai Pilihan Orang Lain

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sembari menuliskan ini, mereka masih bekerja dirumah. Kebetulan saya sedang dirumah kakak ipar saya yang pekerjaannya sebagai pendeta di sebuah gereja. Rumah dinas tempat tinggal kakak ipar saya persis disamping gereja.

Mereka datang untuk memperbaiki pintu rumah dengan menambahi pintu besi. Sangat berbeda dengan kami, saudara-saudara itu orang aceh dan beragama Islam. Mereka sangat ramah dan telaten mengerjakan pekerjaannya. Meski sedang memperbaiki pintu rumah pendeta, mereka tidak begitu sungkan dan sangat ramah.

Satu hal yang harus kami sangat hargai adalah bahwa mereka memilih untuk minum yang tidak kami sediakan sendiri. Kami sudah perkirakan hal itu sebelumnya, karena itu kami membeli minuman botol dari warung yang aman buat mereka. Wajar saja mereka sangat hati-hati mengingat rumah yang mereka datangai rumah seorang pendeta yang tentu saja tidak bisa menjamin bebas dari makanan/minuman yang mereka anggap haram.

Tidak apa-apa. Saya sendiri sudah sering berhadapan dengan orang-orang yang berbeda dengan saya. Saya sendiri tidak harus menjadi kesal atau tidak berteman dengan orang yang berbeda dalam hal makanan dengan saya. Saya hanya tinggal menghargai pilihan orang lain dan tentu saja mereka juga menghargai pilihan saya.

Jika karena makanan yang orang lain tidak bisa bahkan menyentuhnya sekalipun, saya tidak bisa menghargai mereka, apakah arti saya sebagai orang yang beragama? Mengapa untuk  orang yang berbeda dengan saya, saya tak bisa mengendalikan diri sehingga tindakan saya tidak melukai mereka?

Pernah kuliah di sebuah kota di Pulau Jawa, sangat jelas bagaimana saya sebagai seorang kaum nimoritas ditengah rekan-rekan mahasiswa dan dosen. Bahkan dosen hampir semuanya beragama Islam yang tentu sangat berbeda dengan saya yang beragama Kristen. Hal yang sangat menakjubkan yang saya alami adalah bahwa perbedaan agama sama sekali tidak  menjadikan kami berseberangan.  Dua orang dosen pembimbing saya adalah perempuan berjilbab yang menurut saya sangat taat dengan kehidupan agama.  Luar biasa, mereka sama sekali tidak memandang perbedaan agama. Mereka bekerja secara profesional, bahkan menurut saya mereka melakukannnya juga karena ajaran agama.

Lain lagi rekan saya mahasiswa, seorang perempuan berjilbab dan merupakan dosen di salah satu kampus di papua yang notabene umumnya bergama Kristen. Beliau juga merasa nyaman dan tidak masalah dengan perbedaan itu.

Ternyata perbedaan tidak membatasi kita untuk maju. Jika kita melihat perbedaan saja dengan mengesampingkan apa yang membuat kita bersatu, maka tentu saja kita akan susah maju. Kita disatukan atas nama Indonesia, karena itu bersama kita membangun bangsa ini. Biarlah kita masing-masing dengan iman percaya kita, kemudian kita bersatu untuk maju demi kesejahteraan bersama.

Salam damai Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline