Satu hari yang lalu, dalam sebuah group komunikasi kami yang berisi pengelola sekolah tiba-tiba menginformasikan, bahwa ada beberapa sekolah yang berada satu wilayah dengannya akan menerapkan re-opening sekolah dengan menerapkan sistem pembatasan murid.
Hal ini kemudian memunculkan suatu pemikiran, jika dalam kondisi seperti ini, maka survival mode dan keterbatasan sarana pendukung pembelajaran online sepertinya banyak memunculkan sekolah yang memilih membuka kembali sekolah demi bertahan hidup meski tidak berada di zona hijau.
Padahal pemerintah sudah memberikan surat edaran resmi, bahwa sekolah yang berada di zona hijau baru dapat membuka kembali sekolahnya sekitar 5 atau 6 bulan setelah zona wilayah tersebut dinyatakan benar-benar hijau, bahkan ketika pada saat sekolah dibuka kembali, dan dalam perjalanannya malah muncul kasus baru terkait Covid-19, maka dengan tegas, sekolah tersebut harus ditutup, terutama untuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Mengapa? Karena anak-anak pada usia ini sangat rentan terpapar vidus Covid-19.
Sementara di group yang berdiskusi mengenai "zona nyaman", lagi-lagi hal ini bermula dari sebuah curhatan tentang ungkapan "guru harus mau keluar dari zona nyaman". Yang menjadi pertanyaan, zona nyaman seperti apa yang dimaksud?
Kedua permasalahan di atas merupakan respon dari suatu peristiwa yang telah dialami teman-teman saya yang selama ini membaktikan dirinya sebagai pendidik.
Pandemi Covid 19 yang membuat tiap keluarga belajar di rumah saja tanpa tatap muka di sekolah, justru menjadi ujian bagi semua warga belajar. Pandemi menjadi titik balik bagi seluruh warga belajat untuk merekonstruksi pola pikir untuk menjawab kondisi yang terjadi saat ini bahwa sekolah bisa di mana saja, belajar bisa dari siapa saja.
Partner saya sebagai founder Kultur Metamorfosa Istimewa yang kebetulan berada dalam group diskusi tersebut menyatakan, bahwa saat ini kita harus melakukan manuver model belajar yang tepat, bukan lagi dengan cara konvensional, tepat disini mengacu pada ketepatan kebutuhan belajar peserta didik, ketersediaan waktu belajar, ketersediaan sarana, kesesuaian dengan gaya belajar masing-masing peserta didik.
Artinya kita harus selalu siap dengan perubahan, termasuk mengatur proses tatap muka dengan memanfaatkan teknologi, untuk itu perlu disukseskan dengan membangun komitmen bersama, membuat perencanaan baru yang lebih baik.
Hubungan antara Tri Pusat Pendidikan (guru, murid, dan orangtua) harus berjalan harmonis, selalu memunculkan romantisme demi terciptanya ekosistem belajar yang benar-benar hidup dan menjadi ruang untuk belajar dan bertumbuh. Sepertinya untuk menyadarkan kita mengenai keutamaan keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama harus dengan "sentilan" Covid.
Jika kita mau mereview kembali pengalaman-pengalaman yang hadir pada lampau, dari mulai kita bersekolah, hingga sebelum pandemi datang, dapat digunakan sebagai suatu riset kecil atas apa yang pernah kita alami, terutama terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan ketika kita bersekolah.
Mengapa pengalaman yang seperti ini penting untuk direview kembali? Jawbannya, ya agar kita tidak terjebak pada pengalaman yang sama. Pengalaman tidak menyenangkan kok direproduksi.