Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dikenang sebagai sosok seorang tokoh pergerakan yang focus terhadap dunia pendidikan seutuhnya.
Sosok yang lahir pada 2 Mei 1889 yang kemudian lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara ini memiliki sudut pandang tentang pendidikan yang bermula dari anak.
Buah-buah pemikiran beliau selalu berangkat dari suatu peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar kita. Betapa tidak, beliau meyakini, bahwa setiap proses kelahiran selalu menghadirkan campur tangan dari Tuhan, menurut beliau "bayi dilahirkan di dunia telah diberi bekal sarat dan alat hidup yang serba lengkap, tetapi belu semua dalam keadaan sempurna".
Maka dari situlah pendidikan mulai ditanamkan. Beliau selalu menekankan bahwa mendidik anak harus dengan cara yang menyenangkan. Karena anak menjadai fokus pendidikan, maka Ki Hadjar mengangkat kembali metode salisworo (sariswara) untuk anak-anak, cara mendidik anak itu dengan metode salisworo, definisinya salisworo ini sastra tapi dilakukan, dilengkapi dengan oleh olah gerak diikuti oleh iringan.
Jadi semua digabungkan maka munculah iromo, iromo dalam kategori Ki Hajar ini menggabungkan irama, sastra dalam bentuk lagu, dimainkan oleh anak-anak (kumparan.com 24/11/2018).
Permainan gerak dan lagu menjadi sesuatu yang penting dalam hal ini, karena berpengaruh terhadap munculnya ketajaman pikiran, kehalusan rasa, serta kekuatan kemauan. Artinya Pendidikan itu sudah setua usia manusia ketika manusia mulai bertahan hidup dan mempertahankan hidup dengan membangun peradabannya.
Mendidik anak itu sama dengan mendidik masyarakat karena anak itu bagian dari masyarakat. Mendidik anak berarti mempersiapkan masa depan anak untuk berkehidupan lebih baik, demikian pula dengan mendidik masyarakat berarti mendidik bangsa ( Dewantara I, 2004).
Dengan sendirinya, sistem pendikan dan pengajaranlah yang harus menjadi pangkal yang pertama bagi terpeliharanya hidup berbangsa dan berbudaya. Saat ini pendidikan Indonesia mulai melupakan esensi pendidikan untuk anak, termasuk mengajarkan pendidikan budi pekerti dan karakter.
Jika kita cermati praktik pendidikan sekarang, tujuan pendidikan di banyak sekolah justru melupakan esensi anak. Karena pendidikan sekarang berfokus pada "nilai" yang diwakili oleh angka dengan tujuan sebagai standarisasi capaian dalam mata pelajaran tertentu, bukan mengajarkan untuk mengenal kemajuemukan, keberagaman, dan personalisasi dari sifat dan karakteristik yang dibawa masing-masing individu (anak) sejak lahir.
Inklusifitas hanya difokuskan pada sesuatu yang terkait dengan cirri fisik seseorang (difabel), bukan kepada arti yang luas (ekonomi, agama, status sosial).
Pada saat bicara kebijakan pendidikan pun Ki Hajar jelas bicara sekolah di desa, di kota, di pantai dan di sawah, itu sebetulnya harus jadi sekolah dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut serta memperhatikan kebutuhan masing-masing daerah, bukan diterjemahkan dalam sebuah penyeragaman kurikulum, capaian nilai, dan lain sebagainya yang terjadi dalam pendidikan formal kita saat ini.