Lihat ke Halaman Asli

Satu kata, Dipaksa

Diperbarui: 25 Oktober 2019   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semua ini  gara-gara Mas Hariadhi. Ditambah semalam ada kuliah online yang diadakan grup the writer. Beliau sebagai pematerinya. Materinya seru... bagus, menurut saya sebagai orang yang sedang belajar nulis. Secara gambaran kasar, materi semalam membahas tentang bagaimana mengkomersilakan tulisan kita. Dengan memanfaatka tekhnologi yang ada.

Saya nggak tahu persis, alasan mengapa saya senang terlibat dalam kelompok penulisan.  Atau kegiatan yang berbau literasi. Termasuk salah satunya saya tersangkut di  Group The Writers lumayan lama. Selama bergabung dalam grup ini,  setidaknya saya dapat tiga ilmu tingkat tinggi.

Yang pertama tentang Creative attitude sebagai dasarnya dasar kepenulisan. Kedua tetang hypnotic writing dan automatic writing sebuah metode untuk bisa rileks dalam kegiatan menulis. Nah... yang ketiga adalah materi semalam. Berikut hasil catatan saya. Saya akan ambil tiga point yang kebetulan sedang terkait dengan kebutuhan saya saat ini.

Dalam kelas semalam ada satu kata kunci yang saya garis bawahi yakni DIPAKSA. Kesan memang kurang menyenangkan tapi begitulah, menulis memang harus dipaksakan. Kendala yang muncul dari kegiatan menulis saya adalah rasa bosan dan takut. Tapi memang tidak ada cara lain selain dipaksa untuk menulis. Konsep dipaksa ini sejati bukan mengacu kepada hasil dari tulisan kita. Targetnya bukan bagus tidaknya tulisan kita,  melainkan lebih kepada menciptakan habit atau kebiasaan dalam menulis. Dipaksa untuk melatih hard skill kita. Bila habit dan hard skill sudah bisa betemu, nah ini masuk point yang kedua.

Bila kita telah menguasai hard skill tinggal kita mengembangkan soft skillnya. Melekukan networking,  merketingan sampai presentasi dan promosi, itu adalah soft skillnya. Ibaratnya setelah kita punya produk yang bagus kita harus bisa menjualnya. Kita tidak bisa berhenti hanya sampai di produksi. Kita harus bisa menjual. Bahkan bila kita mengutip Presiden Jokowi dalam pelantikannya, beliau memastikan bukan hanya send tapi harus delivered. Bahwa tulisan kita bukan hanya bisa dikirim saja, tapi juga diterima oleh pembaca. Jadi inti dari point kedua ini adalah bagaimana kita mampu memonetize tulisan kita di dunia digital.

Ibarat hutan, dunia digital bisa juga dianalogikan rimba belantara. Tidak semuanya baik. Ada yang nakal. Termasuk mereka yang suka mencuri hak cipta atau membajak karya kita. Untuk mengantispasinya ini saya masukkan dalam point ketiga.

Dalam dunia digital kita tidak akan lepas dari dunia bajak membajak. Untuk mengantisipasi karya kita dibajak kita bisa mengkolaborasikan dan mengelaborasikannya. Kita harus bisa memanfaatkan pembajakan itu menjadi sebuah keuntungan bagi kita. Dengan kreativitas kita, kita bisa nengubah ancaman ini menjadi peluang. Dicontohkan, salah satu cara untuk menjual kemampuan kita bisa dilakukan dengan membiarkan karya kita dibajak habis-habisan. Karya kita digunakan sebebas mungkin bagi seluruh orang.  Dari situ kita bisa memetik keuntungan bahwa karya kita bisa diterima dan brand kita bisa menjadi viral. Begitulah tiga point catatan semalam.

Bila ditanya apa ciptaan manusia yang mampu mengubah dunia ? Saya akan jawab Social Media. Dan Saya bersyukur, bisa menikmati social media saat ini. Dengan adanya social media kita tidak perlu lagi melakukan tes apakah tulis kita menarik atau tidak . Cukup dilihat dari like dan sharenya. Jadi ditahap ini, saya masih menggunakan social media untuk mengasah hard skill menulis. Saya belum mampu memonetize social media media menjadi uang. Ah...... menyedihkan sekali ya. Ibarat Ayam mati di lumbung padi. Begitulah saat ini bila kita tidak mempuyai keterampilan menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline