Lihat ke Halaman Asli

Hidup Dalam Kubangan Minyak

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_159119" align="aligncenter" width="480" caption="Rudal Nasr-1 Iran"][/caption] Sebentar lagi kita akan menghadapi tahun baru 2012, para pakar ekonomi meramalkan sebagai tahun yang cukup sulit karena tekanan dari Krisis Eropa yang belum kunjung selesai, bahkan akan cenderung lebih parah. Tidak hanya itu, akhir tahun ini ketegangan antara Iran-Israel sudah hampir mencapai titik klimaksnya di mana para negara-negara Teluk Arab dan tentunya Amerika ikut campur dalam kondisi ini. Setelah Khadafi, Amerika pun mengancam Ahmadinejad dengan mengacaukan Iran dari dalam yang nyatanya kurang berhasil. Tidak menyerah, mereka pun menyebarkan isu nuklir, senjata pemusnah masal, lalu memberikan sanksi embargo terhadap Iran. Iran memang adalah negara keras kepala nan cerdik, lantas tentu membalas Amerika dengan mengancam lewat minyak. Iran mempunyai Selat Hormuz di Teluk Persia yang sangat penting dalam aktivitas politik dan perdagangan. [caption id="attachment_159121" align="aligncenter" width="574" caption="Teluk Persia"][/caption] Salah satu motor penggerak Amerika tentu saja minyak. Selat Hormuz bisa ditutup kapan saja dan lebih dari 15 kapal tanker tidak akan bisa melintasi Teluk Persia. Apa akibatnya? Tentu bukan asing lagi di telinga kita karena dunia akan kekurangan lebih dari 20 juta barrel minyak/hari, kenaikan minyak 2-3 kali lipat dan akan menembus level US$ 250/barrel. Siapa yang dirugikan? Tentu negara-negara Teluk yang tidak bisa mengekspor minyaknya, Amerika, dan hampir seluruh negara di dunia akan krisis minyak mengingat 40% suplai minyak berasal dari negara-negara Teluk. Indonesia juga akan terkena dampak yang cukup besar. Blok Cepu hanya menghasilkan 165.000 barrel/hari padahal ditargetkan 950.000 barrel/hari. Investor asing masih tidak mau menggarap karena pemerintah masih memakai UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas di mana para investor harus membayar pajak meskipun belum menemukan sumber minyak. Lucu kan? Kembali kepada persoalan minyak di Indonesia. Pemerintah sudah lelah untuk menanggung beban akibat subsidi premium yang tahun ini yang membludak dikarenakan kenaikan jumlah kendaraan bermotor hingga 8%. Tetapi di sisi lain, pemerintah sendiri masih enggan untuk menaikan harga minyak lewat pelepasan secara bertahap subsidi premium, padahal inflasi rendah mulai dari bulan lalu. Alih-alih nilai inflasi rendah ini dengan memainkan BI Rate ternyata persiapan untuk 2012 digunakan agar selamat dari krisis Eropa, dengan cara ini instrumen konsumsi akan naik dan daya konsumsi masyarakat akan meningkat. Konsumsi adalah senjata andalan indonesia dimana instrumen Investasi dan Ekspor akan menjadi tidak pasti di masa krisis. Pro dan kontra akan terus bergulir mengingat masih banyak hal yang harus dilakukan untuk pembangunan Indonesia lewat belanja modal bukan belanja aparatur apalagi menanggung subsidi premium. Kontranya adalah ketika subsidi di lepas perlahan, akankah harga kebutuhan pokok, listrik dan harga-harga lain menjadi tetap? Tentu saja tidak. Lalu sudah siapkah Indonesia jika Iran-Israel akan perang dan harga minyak melambung tinggi?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline