Setiap orang pasti memiliki hobi atau kegemaran. Berbicara mengenai hobi, salah satu aktivitas yang saya sukai adalah berwisata, namun seringkali saya melakukannya sendirian. Di kalangan para backpacker istilah ini disebut solo travelling, akan tetapi saya lebih senang menyebutnya dengan solo tour, tidak ada alasan khusus menggunakan istilah tersebut hanya terinspirasi dari penggunaan kata tour jika para band rock menggelar rangkaian konser dunia, selalu menggunakan kata tour.
Pada suatu kesempatan saya mengunjungi Pasar Buku Wilis di Kota Malang, siang itu setelah menyesap segelas kopi hitam saya iseng-iseng melihat buku yang dijajakan oleh para penjualnya. Setelah beberapa saat berkeliling tatapan saya tertuju pada salah satu sudut rak buku yang agak terpencil. Buku tersebut menarik minat saya, bertajuk Hidup Sederhana, Berpikir Mulia P.K. Ojong ditulis oleh Helen Ishwara.
Sebagai pecinta buku bagi saya nama Petrus Kanisius Ojong adalah legenda, walaupun saya bukan termasuk generasi yang bisa menyimak karya-karya P.K. Ojong semasa hidupnya, namun berbagai artikel dan buku-buku P.K. Ojong telah banyak saya baca, bahkan termasuk bagian dari koleksi buku saya.
P.K. Ojong Dalam Sebuah Riwayat Singkat
Masyarakat tidak akan pernah bisa membaca harian Kompas jika P.K. Ojong tidak pernah berkarya, sedemikian besar pengaruh P.K. Ojong terhadap dunia jurnalistik sekaligus pembangunan karakter bangsa Indonesia.
Lahir dengan nama Auw Jong Peng Koen pada 25 Juli 1920 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayah P.K. Ojong merupakan seorang imigran dari Tiongkok dan kemudian menjadi saudagar tembakau di Payakumbuh. Sejak kecil P.K. Ojong merasakan didikan keras ala keluarga peranakan Tionghoa yang menekankan kedisiplinan, kerja keras, menghormati leluhur dan hemat. Pola asuh tersebut ternyata menggembleng mental sekaligus membentuk karakter P.K. Ojong memiliki kepribadian tangguh dan tahan banting.
Salah satu kegemaran P.K. Ojong semasa hidupnya adalah membaca, minatnya ini mulai terlihat sejak mengenyam pendidikan di Hollandsche Chineseche Kweekschool (sekolah guru), dari kegemarannya membaca kelak akan membawanya ke dunia jurnalistik sekaligus membesarkan namanya.
Karena di daerah P.K. Ojong tumbuh saat itu belum ada universitas yang dianggap layak untuk melanjutkan pendidikan, maka P.K. pindah ke Jakarta melanjutkan pendidikan bidang hukum di Universitas Indonesia.
Debut profesional P.K. Ojong ternyata bukan di dunia jurnalistik, melainkan di dunia pendidikan. Dengan latar belakang pendidikan di sekolah guru sebelum pindah ke Jakarta, P.K. Ojong menjadi tenaga pengajar di Sekolah Dasar Budi Mulia. Mungkin sudah takdirnya menggeluti dunia jurnalistik, tahun 1946 P.K. Ojong mulai bekerja di sebuah majalah Tionghoa, yaitu Star Weekly.
Ternyata dunia jurnalistik mengantarkan P.K. Ojong ke jalan karir gemilang, berawal perannya sebagai kontributor berkat prestasinya P.K. Ojong diangkat sebagai redaktur pelaksana. Pada rentang 1946-1951 P.K. Ojong didaulat menjadi anggota redaksi Star Weekly dan majalah Keng Po.
Sayang, karena dianggap terlalu vokal terhadap pemerintah kala itu, Star Weekly diberendel tahun 1951. Tetapi tamatnya riwayat Star Weekly tidak menghentikan karya P.K. Ojong. Layaknya pepatah Tiongkok mengatakan, "Sudah jadi kehendak langit maka akan terjadi," jejak P.K. Ojong berlanjut mendirikan majalah Intisari tahun 1963 dan harian Kompas pada 1965 bersama rekan sejatinya Jakob Oetama.