Lihat ke Halaman Asli

Bali Incorporation - Mau Beli?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi menjelang siang! Ini tulisan iseng-iseng, jangan terlalu serius yah :) Saya baru kembali dari Pulau Dewata untuk  tugas menghadiri seminar SDM terbesar di Indonesia yang juga di hadiri oleh banyak petinggi-petinggi negara yang sangat berpengaruh. Ada banyak pertanyaan yang juga membingungkan dalam acara ini yang nanti akan Saya bagikan dalam tulisan lainnya. Saat ini Saya mau menyoroti hal lainnya. 3 tahun terakhir kami selalu rutin mengunjungi pulau Dewata untuk liburan keluarga. Bahkan tahun depan kami sudah menjadwalkan perjalanan kesana, lagi-lagi untuk sebuah seminar akbar yang diadakan di daerah Nusa Dua. Memang Bali dengan segenap pesona-nya menjadi pilihan utama untuk acara-acara akbar kelas dunia di Indonesia. Berikut statistik mengenai Pulau Dewata: [caption id="attachment_138805" align="aligncenter" width="542" caption="Data Wisatawan dan Penduduk Bali - courtesy BPS Bali"][/caption] Dalam kurun waktu 10 tahun, 4 kali terjadi penurunan jumlah kedatangan turis yang membuat Pemda Bali pun melakukan pembenahan diri. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk asli, angka-nya pun semakin meningkat, sudah sampai 70%. Tidak ada daerah dengan demografi se-unik Bali seantero nusantara. Potensi-nya sangat besar. Terakhir hasil diskusi dengan beberapa kawan yang tinggal di Bali, sekarang sudah banyak bule yang bahkan turut mengerjakan apa yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Mereka belanja di pasar tradisional, menjadi tour guide di Bali, menjadi driver dan tidak sedikit yang membuka usaha seperti laundry. Bukan seperti laundry besar, ini di level perorangan - binatu. Harga properti di Bali pun meningkat tajam. Saat ini, di beberapa daerah komersial, harganya sudah melebihi Jakarta. Mulai dari 4 juta per-meter sampai 90 juta per-meter pun ada pembeli-nya. Sementara itu, di daerah segitiga emas Jakarta, harga properti baru mencapai 70-80 juta per-meter. Kita boleh berbangga punya daerah dengan potensi sedemikian besarnya, walaupun Anda dan Saya tidak juga menikmati nilainya :) Dengan kondisi ini, Saya agak terkejut dengan keadaan Airport Ngurah Rai. Yah, sebetulnya terkejut juga bukan kata yang tepat... prihatin lebih pas. Menurut official website-nya: http://dps.ngurahrai-airport.co.id/i/fasilitas.php - Airport Bali dan segala perlengkapannya memiliki kapasitas untuk 4 juta wisatawan. Mungkin betul juga, Saya tidak sempat keliling sampai ke terminal internasional walaupun flight kami delay 3.5 jam [sudah cukup untuk terbang dari Bali-Jakarta-Bali lagi]. Nah, berikut sedikit cuplikan yang Saya lihat sewaktu menantikan pesawat kami dengan keadaan kaki kesemutan karena duduk kelamaan sambil menjaga koper - takut kursi hilang: [caption id="attachment_138810" align="aligncenter" width="576" caption="Antrian di Airport Ngurah Rai"][/caption] [caption id="attachment_138812" align="aligncenter" width="576" caption="Antrian di Airport Ngurah Rai"][/caption] Antriannya luar biasa, dengan ada 3 pesawat yang delay [kira-kira 1200-1500 penumpang terlantar], kapasitas menjadi sangat penuh. Ada beberapa photo yang menggambarkan ada yang nelonjor sampai terlentang di tengah Airport. Saya ndak pajang karena nanti ndak enak sama Oom dan Tante yang Saya photo diam-diam. Pikiranku jadi buanyak dan bercabang... seandainya Bali ini kita swastakan, bagaimana nasibnya yah? Airport-nya kita buat tandingannya di sebelahnya: Swasta dan Pemerintah, apa jadi-nya yah dengan Airport pemerintah? Seandainya ada yang tidur-tiduran atau duduk di lantai di lobi kantor Anda, apa yang akan Anda dan Saya lakukan sementara banyak tamu yang simpang siur? Wisatawan itu seperti tamu kan? Serem juga membayangkan, fasilitas airport international seperti ini. Kalau Saya boleh mengutip Pak Jusuf Kala di acara seminar SDM kami, menurut beliau airport-airport ini salah design. Modelnya mau dibuat tradisional, ternyata malah susah di rawat, sulit dikembangkan dan lebih makan biaya. Yang paling parah, jadi terlihat seperti kumuh dan suram. Ini bahasa beliau yah, jangan salahkan Saya (walaupun Saya setuju sih). Mungkin memang benar, bisa menampung 4 juta penumpang per-tahun. Pertanyaannya, dengan standar seperti apa? Kalau Hotel, mungkin Airport kita ini setara dengan bintang 3 daripada bintang 5. Sekali lagi ini hanya tulisan iseng, jangan terlalu di anggap serius. Saya tidak mau menggurui para petinggi di pemerintahan yang sudah pasti lebih pintar dari Saya - makanya mereka bisa terpilih. Mereka pasti sudah punya informasi dan data lebih juga... yah banyak lah alasannya. Intinya kan cuma menuliskan anekdot, membuat yang ndak berat menjadi ringan. Kalau ada yang tersinggung, Saya mohon maaf. Berarti maksud penulis sudah tersampaikan. Salam Minggu Siang, Andry Lie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline