Di tengah kondisi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang masih belum jelas kapan berakhirnya. Rakyat Indonesia justru dikejutkan oleh tindakan pemerintah pusat bersama DPR-RI yang mengesahkan Omnibus Law, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Banyak pihak yang menilai bahwa UU tersebut terlalu memihak ke para oligarki dan jauh dari asas keterbukaan selama penyusunannya. Di sisi lain, pemerintah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja akan membawa manfaat besar bagi Indonesia karena mempermudah para pengusaha untuk menjalankan bisnisnya (melalui deregulasi ekonomi) dan menarik banyak investor untuk berinvestasi di negeri ini sehingga menciptakan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Pemerintah sekarang juga telah terang-terangan menggunakan paradigma Neoliberalisme dalam upaya mempopulerkan UU Cipta Kerja di tengah masyarakat. Neoliberalisme sendiri adalah suatu paham ekonomi yang menekankan pada kebebasan pasar dan kepemilikan pribadi melalui deregulasi (pengurangan peraturan) dan privatisasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Salah satu doktrin yang paling terkenal bagi para penganut Neoliberalisme sendiri adalah Trickle Down Effect yang katanya bisa menciptakan banyak lapangan pekerjaan sehingga menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
Tricle Down Effect merupakan suatu doktrin yang menyatakan bahwa langkah paling tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan mempermudah para pebisnis kaya dan investor dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Kemudahan yang diberikan oleh pemerintah kepada pebisnis kaya sendiri diharapkan akan membuat mereka lebih cepat dalam mengembangkan bisnisnya sehingga akan tercipta banyak lapangan pekerjaan. Dengan terciptanya lapangan pekerjaan keuntungan yang diperoleh masyarakat kaya akan menetes ke kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Akan tetapi Trickle Down Effect sendiri merupakan doktrin yang sangat kontroversial karena akibat dari diterapkannya paham ini, dapat membuat kekayaan hanya berputar pada segelintir orang saja yang pada praktisnya akan membuat terciptanya kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Trickle Down Effect juga dikritik karena memantapkan kelas sosial antara si kaya dengan si miskin sebagai akibat dari disparitas pendapatan di tengah masyarakat sebagai efek langsung dari quantity over quality dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Memang betul Trickle Down Effect bisa membuat bertambahnya kuantitas lapangan pekerjaan akan tetapi hal tersebut dapat berbanding terbalik dengan kualitas upah yang didapat oleh para kelas pekerja.
Kemudian jika kita bandingkan dengan Pancasila sebagai ideologi dasar negara, tentu saja bertentangan dengan Neoliberalisme karena sila ke-2 dalam Pancasila yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” dan sila ke-5 yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kedua sila tersebut secara nyata bertentangan dengan Neoliberalisme yang sering mengesampingkan hak-hak buruh dan lingkungan demi mengejar keuntungan individu semata. Penulis sendiri secara pribadi memang berpendapat bahwa reformasi hukum dan birokrasi yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi sangat diperlukan akan tetapi bukan berarti mengesampingkan hak-hak pekerja dan kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, berangkat dari landasan ideologis yang sudah dijabarkan di atas, sudah sewajarnya banyak rakyat Indonesia yang menentang Omnibus Law, UU Cipta Kerja yang sudah disahkan baru-baru ini karena dampak praktisnya yang sangat mengancam hak kaum pekerja dan kelestarian lingkungan, selain itu Neoliberalisme sebagai ideologi dibalik UU Cipta Kerja secara nyata bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah dasar yang dianut oleh negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H