Anak muda itu sesungguhnya berwajah tampan, dan akan lebih ganteng lagi jika tangannya tiada bertato. Wajahnya menunjukan ekspresi datar, sedikit menjurus sedih. Ya, ada ekspresi penyesalan disitu, sembari memandangi tangannya. Dengan berjalannya waktu, tampaknya tato tak lagi menjadi kebanggaannya. "Sulit mendapatkan kerjaan" dia bersuara lirih. Suara itu ibarat kecamuk di ujung gundah, memelas. Ketika suara hati muncul, menyeruak menembus belenggu hitam, ada sesal yang dalam, merobek-robek relung hati. Di saat diri hanya bisa terpana duduk terdiam.
Terus apa yang harus disesali semua sudah terjadi, ukiran tangan dan kebahagiaan semu adalah sebuah ilusi. Daya khayal, imajinasi, mimpi-mimpi masa lalu, masa-masa arogan memamerkan ukiran darah ditangan asli, yang diperoleh dengan penuh rasa sakit itu ternyata dalam kenyataan tetap berujung rasa sakit. Lalu? Apalagi yang harus dibanggakan? Waktu mengubah segalanya, tak hanya pilihan kerjaan yang kian minim, karena jika sudah demikian maka umumnya mendapatkan seorang istri tak segampang mendapatkan seorang pacar, karena pacar bisa datang dan pergi.
Dia sudah berupaya menghilangkan ukiran tubuh itu, tak mudah memang, karena masih saja membekas. Malah di tubuh lesu, tampak kian kumuh, kian berdebu.
Bogor, 20 April 2023
Pak Datuak Andro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H