Lihat ke Halaman Asli

Maksimalisasi Laba dalam Perspektif Ekonomi Islam

Diperbarui: 18 Desember 2018   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Nafarin (2007) mendefinisikan laba sebagai perbedaan antara pendapatan dengan keseimbangan biaya-biaya dan pengeluaran untuk periode tertentu. Sementara Halim & Supomo (2005) mengatakan bahwa laba merupakan pusat pertanggungjawaban yang masukan dan keluarannya diukur dengan menghitung selisih antara pendapatan dan biaya.  

Dua definisi tersebut memiliki satu makna, yaitu yang dimaksud dengan laba adalah perbedaan atau selisih yang didapatkan setelah mengurangi pendapatan yang diperoleh dari suatu usaha dengan komponen-komponen biaya yang dikeluarkan pada suatu periode tertentu.

Maksimalisasi laba adalah suatu upaya pelaku usaha dalam memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha yang dijalani. Pengejaran laba maksimum nampaknya terlalu bernafsu dan bertentangan dengan kode moral Islam. 

Namun jika dikaitkan dengan ajaran lainnya yang menyatakan kita harus berupaya tidak hanya untuk mencapai kemuliaan di akhirat, namun juga di dunia, maka ini menjadi aspek motivator yang mendorong umat Islam untuk selalu mencapai laba kehidupan, termasuk laba bisnis. Dengan demikian, teori maksimalisasi laba juga dibutuhkan dalam ekonomi Islam (Muhamad, 2013). 

Namun konsep maksimalisasi laba yang ada pada ekonomi Islam tidak mengejar materi semata sebagaimana kaum kapitalis yang hanya berfokus pada penambahan keuntungan pribadi. Maksimalisasi laba dalam Islam erat kaitannya dengan etika dalam berbisnis, terutama dalam hal dampaknya terhadap sosial dan lingkungan sekitar. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 14, Allah SWT berfirman :

 ”Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” (QS An-Nahl : 14)

Allah SWT telah mempersilakan manusia mencari keuntungan dari bumi ini, dengan syarat agar selalu bersyukur. Salah satu wujud dari syukur ini dapat berupa berbagai dengan sesama. 

Oleh karena itu tujuan perusahaan untuk mencapai laba yang maksimal sebaiknya disertai dengan tujuan perusahaan untuk berbagi kepada sesama, alam dan lingkungan, baik itu berbagi dalam bentuk pemberian sebagian laba, berbagi ilmu dan teknologi, maupun berbagi dengan cara lain yang dianggap bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Bukan keuntungan yang bermanfaat buat diri sendiri atau kelompoknya saja (Ekasari, 2014).

Dalam Islam, etika dalam berbisnis amat diperlukan. Hal ini agar tidak terjadi eksploitasi dan obstruksi (gangguan) dalam kelancaran fungsi pasar yang ada di masyarakat. 

Tingkat keuntungan yang menyebabkan eksploitasi terhadap masyarakat tidak diperbolehkan. Ketika kesejahteraan masyarakat dipertaruhkan, maka upaya maksimalisasi laba oleh pelaku bisnis atau perusahaan tidak dibenarkan. Selain itu Islam hanya memperbolehkan upaya mendapatkan dan memaksimalkan laba dari usaha yang halal (Ali et al, 2013).

Isu yang perlu diperhatikan dalam upaya maksimalisasi laba adalah keadilan dalam distribusi harta atau kekayaan. Dalam ekonomi berbasis sekuler, maksimalisasi laba dapat menimbulkan permasalahan dalam sosial ekonomi. Ekonomi sekuler memandang laba sebagai keuntungan yang bersifat ekslusif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline