Lihat ke Halaman Asli

Menghadapi Kurikulum Baru Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran/pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Jika kita melihat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, dunia pendidikan di Indonesia ini sedang “sakit”. Mengapa sedang “sakit”?, karena kondisi pendidikan kita sedang dirundung berbagai masalah-masalah, seperti maraknya tawuran-tawuran para pelajar dan mahasiswa yang menghasilkan korban jiwa, beredarnya LKS-LKS yang muatan isinya mengandung unsur porno dan kekerasan, banyaknya pungutan-pungutan liar yang dilakukan para tenaga pendidik dengan dalih uang buku atau uang praktek, sarana dan prasarana yang tidak layak untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, dan masih banyak lagi masalah-masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada peringkat 14 dari 14 negara berkembang. Yang artinya para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacific. Salah satu faktornya adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak, para guru seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan minat dan bakat yang dimiliki oleh seorang peserta didik. Mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para peserta didiknya. Seharusnya guru harus membimbing dan mengarahkan potensi para peserta didik sesuai kebutuhan minat dan bakatnya. Sehingga dapat terpenuhi dan tercapai sesuai apa yang menjadi kebutuhan minat dan bakat dari para peserta didik.

Di Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan negara maju lainnya, seorang peserta didik dari usia dini sudah diarahkan menjadi seseorang yang profesional dan berkualitas di bidangnya yang sesuai dengan potensi si peserta didik yang berdasarkan kebutuhan minat dan bakatnya. Jika si peserta didik tersebut berbakat di dunia olahraga, maka si peserta didik tersebut diarahkan terus dan dibimbing menjadi seorang atlit. Jika si peserta didik tersebut menyukai dalam bidang kesenian maka dia terus diarahkan dan dilatih bagaimana agar kelak menjadi seniman. Sehingga ketika dia sudah berusia matang dia siap terjun menjadi seseorang yang profesional di bidangnya karena sesuai dengan kebutuhan minat dan bakatnya karena sudah terfokuskan sejak dini. Tetapi kita lihat di Indonesia, murid-murid SD sudah harus membawa beberapa buku mata pelajaran yang banyak. Sehingga mereka bukannya memahami materi yang ada di setiap pelajaran, malahan mereka menjadi bingung dan kurang memahami materi dengan baik, karena tidak terfokus dengan benar. Mereka dipaksa harus mempelajari setiap mata pelajaran yang ada dan mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan minat dan bakat si peserta didik.

Ditambah lagi dengan sistem kurikulum kita yang sentralistik. Yang artinya kurikulum kita dibuat di Jakarta atau di pusat dan tidak memperhatikan kondisi-kondisi di daerah-daerah yang tentunya berbeda dengan di pusat, terutama dalam sarana dan prasarananya. Oleh karena itu para guru merasa terbebani karena harus mengacu pada kurikulum yang dibuat oleh pusat. Pemerintah mulai mencanangkan adanya perubahan kurikulum pada tahun pelajaran 2013-2014 nanti yang akan meminimalkan dan menyusutkan jumlah mata pelajaran khususnya di jenjang SD hanya menjadi 4 mata pelajaran utama/pokok yaitu Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan menghapus mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan mengintegrasikan kedua mata pelajaran tersebut kedalam keempat mata pelajaran utama/pokok tersebut. Sehingga para guru harus dapat mengintegrasikan dan menyesuaikan mata pelajaran IPA dan IPS kedalam keempat mata pelajaran utama/pokok tersebut.

Dengan perubahan kurikulum tersebut setidaknya dapat mengurangi jumlah beban yang harus ditanggung oleh para peserta didik dan mereka bisa fokus setidaknya kepada 4 mata pelajaran utama/pokok tersebut. Tetapi pertanyaannya apakah dengan cara tersebut dapat relevan dengan kondisi masyarakat di Indonesia? alangkah baiknya kita mencoba dengan kurikulum penyederhanaan mata pelajaran tersebut, toh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pasti sudah mempersiapkan dengan matang dan baik-baik mengenai penyederhanaan kurikulum ini dan juga masyarakat Indonesia juga sudah tidak asing lagi dengan sering berubahnya kurikulum pendidikan di Indonesia. Tetapi tentunya ini harus dibarengi dengan sikap keseriusan dari pemerintah dalam menjalankan kurikulum ini dan jangan sampai setengah-setengah dan harus serius menggarapnya, peran kita sekarang khususnya para orang tua dari peserta didik harus terus memantau perkembangan yang terjadi pada peserta didik maupun pada sekolah dan pemerintah. Para orang tua harus cermat dan kritis dalam menanggapi perubahan kurikulum ini. Semoga dengan dijalankannya kurikulum yang baru ini dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sehingga dapat tercapai dari tujuan pendidikan itu sendiri yaitu memanusiakan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline