Pagi-pagi sekali kafe yang berada di seberang jalan itu telah melayani pelanggan. Padahal biasanya baru akan buka saat hari menjelang siang. Sudah beberapa hari ini kulihat tempat minum kopi bernama Limerence itu menerima pengunjung lebih awal.
Setiap hari aku melewatinya. Coffeeshop dengan gaya bangunan natural minimalis itu berada di jalan Senopati. Jalan yang menghubungkan apartemen ku dengan Wisma Cendana. Kantorku berada disana. Aku bekerja di sebuah tabloid wanita. Editor pada salah satu kolom pembaca. Teman-teman sering menyebut ku miss Lilium Longiflorum
Jangan berpikir aku ini hispanik latino, apalagi sebangsa tumbuh-tumbuhan. Tidak sama sekali. Aku ini pribumi tulen, homo sapiens. Perkara panggilan itu semua berawal dari nama asli pemberian orang tuaku; Lily Katlene. Jika pernah belajar biologi kau pasti akan mengerti. Agak kebarat-baratan memang tapi percayalah kalau aku sama sekali tidak berambut pirang apalagi bermata biru.
Selain perihal nama tersebut, teman-teman di kantor dari dulu juga telah paham kalau gadis pengayuh sepeda dames ini sangat menggilai bunga lily. Bukan suatu kebetulan memang kalau aku ternyata begitu menyukainya. Sewaktu kecil ibu selalu mengajaku menanamnya di halaman depan rumah. Saat itu kami memiliki kebun lily yang sangat cantik.
Aku mengidolakan semua jenis lily kecuali satu yang terbuat dari plastik. Bunga itu selalu menarik di mataku. Hampir setiap hari aku membelinya di toko yang berada di seberang kafe Limerence. Toko bunga itu bernama Floris. Mereka tidak hanya menjual bunga lily. Ada beraneka macam bunga tersedia di sana.
Bunga yang kubeli selalu dibungkusnya menggunakan kertas crepe. Aku biasa meletakannya pada keranjang dames. Sesampainya di kantor bunga-bunga itu langsung kupindahkan ke vas kristal berwarna hijau. Aku tak ingin kelopaknya menjadi layu begitu cepat.
***
Sepanjang yang aku ingat, seperti kafe-kafe pada umumnya tempat itu memang selalu tutup di pagi hari. Tidak ada perayaan khusus atau semacamnya yang mengharuskannya buka lebih awal. Yang terlihat berbeda dari pemandangan di sana hanyalah hujan yang kini terus menerus mengguyurnya tanpa henti.
Memasuki bulan September hujan turun sepanjang hari. Air-air itu seperti sedang menumpahkan segala perasaannya pada bumi. Di bulan yang banyak orang bilang romantis ini, hari-hari sepenuhnya telah menjadi miliknya. Juga kenangan-kenangan yang telah lama menunggui derainya.
Di ujung perempatan jalan, di bawah rimbunnya dahan kiara. Sepasang kekasih terlihat sedang berteduh. Berlindung dari rintik hujan yang tak pernah menyerah. Tangan lelaki itu merangkul kekasihnya. Sementara satunya sibuk membenarkan posisi jaket denim yang digunakannya untuk menutupi kepala mereka. Memeganginya agar tak bergeser atau pun jatuh ketika berlari menyeberangi jalan.
***