Malam 21 Juni di bumi bagian selatan. Semburat keemasan masih terpancar dari ujung langit bagian barat. Ekuinoks telah berlalu, hari-hari tidak lagi sama panjang pada bagian dunia empat musim manapun. Bumi telah condong pada salah satu sisi wajahnya yang terbentuk di atas orbit yang tidak terinklinasi dengan matahari.
Berbulan lalu ia telah pergi. Namun keresahan yang ditinggalkannya masih menggelayut pada ranting maple yang kini tengah meranggas. Pohon – pohon itu yang menghiasi halaman telah tumbuh jauh sebelum ekuinoks menciptakan musim yang meluruhkan dahan-dahan mereka. Bagi beberapa maple mungkin ini yang kesekian kali. Terutama bagi ranting-ranting yang hampir menyamai tinggi atap bangunan tua berwarna merah di seberang jalan itu.
Semakin gelap angin semakin kencang berhembus. Menyaput kegelisahan ranting-ranting yang menyeruak hingga ke bangunan tua beratap runcing tersebut.
“kenapa ia menelanjangi kita seperti ini?” protes pohon yang paling muda
“ia hanya menjalankan takdir” jawab yang paling tinggi
“apakah takdir kita juga menderita seperti ini?”
“kau akan terbiasa, aku telah mengalaminya selama empat siklus musim”
“ini tidak adil! Kenapa bangunan tua itu tidak ikut luruh?!”
“hushh..!! ia tidak punya dahan!”
“tapi ia punya genting, Jendela dan cat merah yang bisa ia kelupas sendiri”
“tak bisa, semua miliknya itu bukan untuk diluruhkan”