Lihat ke Halaman Asli

Andri Sipil

Power Plant Engineer

Seperti Air, Amarah Tak Selalu Bisa diBendung

Diperbarui: 15 April 2016   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


[caption caption="Ilustrasi: pendoasion.wordpress.com"][/caption]Entah bagaimana caranya mengembalikan keceriaan Marwan. Bocah laki-laki berusia lima belas tahun itu tiba-tiba saja menjadi pendiam. Bahkan dari raut wajahnya ia cenderung menjadi pemurung. Ia kini tak mau keluar rumah. Tak ada lagi minat baginya bermain sepak bola bersama teman-temannya sebagaimana biasa ia lakukan sepanjang sore selepas pulang sekolah.

Ia bahkan benar-benar sudah tak suka bertemu orang. Satu minggu lebih ia tak sekolah. Mengunci dirinya di kamar. Belakangan bahkan selera makannya hilang. Membuat cemas ibunya menjadi-jadi.

Marwan bukanlah anak cengeng, ia anak lelaki yang tangguh. Diantara teman-teman sepermainannya boleh dibilang ia adalah jagoannya. Badanya besar dan kekar. Meskipun Marwan bukan juara kelas, namun ia juga bukanlah anak yang bodoh. Nilai raportnya selalu masuk sepuluh besar.

Prestasinya di luar kelas juga tak sembarangan. Dari bela diri sampai olahraga lari ia adalah bintangnya. Bahkan Marwan sudah menjadi petugas langganan pengerek bendera di sekolah. Terutama untuk upacara kemerdekaan yang diadakan setiap 17 Agustus.

Marwan juga sosok anak lelaki yang gentle. Tak pernah menjaili teman perempuannya meski sekedar, apalagi sampai jumawa memamerkan nama besarnya pada anak lelaki lain di sekolah. Ia tak lebih dari seorang anak baik yang rendah hati, penurut-patuh pada guru dan kedua orangtuanya, lebih-lebih pada ibu yang begitu dicintainya.

***

Saat itu Marwan diantar pulang oleh wali kelasnya. Ia hanya menunduk dengan amarah yang tertahan-tahan. Di ruang tamu bu Wali menjelaskan kalau Marwan telah memukul salah seorang temannya di sekolah. Belakangan dari pertemuan mediasi di sekolah sehari setelah kejadian, ibunya tahu kalau anak yang dihajarnya itu tak lain tetangganya sendiri.

Kemudian ibunya tak bertanya apa-apa. Sebagaimana ia tahu sifat anak lelakinya itu; ia akan bercerita sendiri pada waktunya tiba. Sementara diantara banyak pikiran mengira-ngira, ibunya lebih berfikir tentang anak lelakinya yang sedang masuk masa pubertas. Barangkali ia hanya ingin menjadi sedikit bengal.

Namun lama menunggu ia tak jua mendapati anaknya mau bercerita mengenai kejadian itu, berhari-hari kemudian yang berkembang anaknya justru nampak semakin diam. Ia mulai cemas sampai didekatinya anak lelaki itu. Serupa hendak menjaga perasaan tak enak anaknya, sang ibu mulai menanyainya pelan-pelan.

Mula – mula ia bertanya tentang bagaimana keadaan Wardi, teman sekelasnya yang hampir berhenti sekolah karena ketiadaan biaya disebabkan bapaknya meninggal jatuh dari pohon kelapa. Masa itu Marwan penuh perasaan iba bercerita pada dirinya. Sampai haru ia meminta ijin untuk memberikan tabungan ayam jagonya demi keberlangsungan pendidikan sahabatnya yang satu itu.

Ia kemudian bertanya tentang pak Mahmud, penjaga sekolah yang tempo hari dalam ceritanya ia bantu mengangkat bak sampah yang menjadi teramat berat akibat beban kertas, plastik serta daun-daun yang mendesak. Yang bagaimanapun caranya tak akan mampu pak Mahmud angkat sendiri.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline