Pagi-pagi sekali tak biasanya seekor lebah terlihat sedang terbang di langit-langit gerbong kereta. Ia terbang dengan amat tenang. Bergerak kesana-kemari. Menari-nari di bawah lampu penerangnya yang masih benderang. Dengan amat percaya diri ia hinggap pada salah satu lampu itu, dan berusaha mendapatkan kehangatan yang dipancarkannya. Namun ia begitu kaget saat kakinya tiba-tiba terpeleset. Kemudian ia berusaha lagi dan kali ini dengan tekad yang lebih kuat yang ia salurkan keujung kaki-kakinya yang berbulu tipis itu. Namun ia tetap saja terpeleset. Ia kemudian menjadi sangat marah. Berulang kali lampu tersebut mendapat sengatannya yang beracun. Tapi lampu itu diam saja tak bereaksi. Tak menjerti-jerit kesakitan. Justru sengatannyalah yang patah. Ia kemudian membentur-benturkan tubuhnya pada lampu itu dengan amat keras. Menantangnya untuk berkelahi.
Setelah dirasa puas, lebah itu meninggalkan lampu tersebut dan kembali menyusuri langit-langit kereta. Ia melewati beberapa lampu yang lain, namun ia sudah tak peduli. Ia benar-benar sudah selesai dengan lampu-lampu itu. Kemudian ia melihat lubang-lubang yang berbaris rapi di permukaan langit-langit kereta dan ia segera mendekatinya. Ia penasaran dan berusaha menggapai bagian tepinya, untuk melihat apa yang sebenarnya berada di dalam lubang tersebut. Namun sayapnya tak pernah bisa membawanya sampai pada tepian lubang itu. Karena angin pendingin yang berasal dari dalamnya berhembus dengan begitu kencang. Membuat tubuh lebah itu berkali-kali terlempar menjauh. Dan akhirnya lebah itu meninggalkan lubang pendingin dengan kepala yang masih berputar.
Setelah berpetualang di bagian teratas langit-langit. Sang lebah kemudian melirik pada bagian yang lebih rendah. Dilihatnya batang-batang berkilat tempat orang-orang berpegangan untuk bertahan dari guncangan kereta saat melaju maupun akan berhenti. Batang-batang itu yang permukaanya bisa untuk bercermin baginya seperti batang bunga matahri yang biasa tumbuh menjulang. Ia segera menurunkan kecepatan terbangnya. Kemudian perlahan ia mendekati salah satu batang yang membentang. Ia menyentuhnya pelan-pelan, merekatkan pegangan. Berusaha untuk menghinggapinya. Namun permukaannya yang licin kembali membuat dirinya terpeleset.
Sang lebah mulai kehilangan kesabaran. Ia juga mulai kelelahan. Ia ingin beristirahat sejenak, melemaskan otot-otot sayapnya. Kemampuannya untuk berakrobat menggelantung dari satu bunga ke bunga yang lainnya tak dapat digunakan di dalam dunia asingnya yang terbatas itu. Juga dengan sengatannya yang biasanya begitu ditakuti oleh serangga musuh atau para lawannya yang biasa ia gunakan saat memperebutkan sebuah daerah kekuasaan. kini tak bisa ia andalkan. Bahkan telah patah oleh sebuah lampu yang seumur hidupnya hanya diam menggantung di langit-langit tersebut. Sang lebah merasa tak cocok dengan dunia barunya itu. Ia benar-benar frustasi dan ingin segera pergi.
Sang lebah terus saja terbang menyusuri langit-langit kereta. Ia berusaha mencari jalan keluar. Namun ia tak juga menemukannya. Ia malah semakin bingung. Tiba-tiba saja ia merasa semakin letih. terbangnya menjadi tidak stabil, lunglai naik-turun.
***
Perhatian orang-orang di dalam kereta mulai tertuju padanya. Lebah itu terlihat terbang tanpa arah di atas kepala mereka. Orang-orang menatapnya dengan pandangan takut. Beberapa bahkan terlihat begitu histeris. Seolah ia bisa membunuh mereka semua. Keberadaannya yang tidak diinginkan itu tentu saja sangat menggangu ketenangan mereka. Dari tatapan kegusarannya sang lebah mendengar mulut-mulut mereka berkata; “apa yang sedang kau lakukan di sini?! Pergilah!”
Orang-orang terlihat bergantian menundukan kepalanya masing-masing. Terutama saat lebah itu benar-benar menghampiri kepala-kepala mereka dan terlihat seperti akan menyengat dengan racun yang mematikan. Padahal saat itu sebenarnya ia hanya sedang menahan tubuhnya yang akan jatuh karena terlalu lelah.
Demi menghindari kegelisahan kepaIa- kepala manusia tersebut. Sang lebah kemudian berusaha untuk kembali terbang menyentuh langit-langit kereta. Namun sayangnya yang terjadi ia justru terjatuh karena sayapnya berhenti mengepak kehabisan tenaga. Ia jatuh tepat di salah satu kepala. Sontak orang yang berada di sebelahnya tiba-tiba mengibasnya dengan amat kencang hingga ia terlempar dan menabrak leher seorang perempuan. Perempuan itu menjerit-jerit, sementara sang lebah telah jatuh ke lantai di antara kerumunan. Orang-orang sibuk memburu keberadaan dirinya.
Sementara dalam persembunyiannya, ia mulai menyadari bahwa langit-langit kereta yang dipenuhi dengan material-material olahan teknologi canggih dan moderen itu memang tidak diciptakan untuk dirinya. Ia juga menemukan bahwa kereta baginya hanyalah dunia asing yang kaku. Dunia dimana benda-benda mati ikut kehilangan sensitifitasnya, oleh orang-orang yang juga kaku karena mereka datang dan pergi hanya untuk mengejar tujuan dan kepentingannya masing-masing.
***