Batu nisan yang menyendiri diantara batang-batang ilalang itu masih juga memikirkan bukit batu yang dulu pernah membesarkannya. Diam-diam ia ternyata masih menyimpan sebuah rasa rindu. Ia tak akan melupakan hari dimana seseorang telah mati. Ketika seorang lelaki tua - yang tubuhnya hanya berbalut kulit yang telah mengeriput - datang membawanya pergi dari pinggiran jalan tempat biasa ia diketuk-ketuk dengan sebuah pahat yang sudah lama tak diasah. Ia tak sempat lagi menyaksikan lalu lalang kendaraan sepeda motor, putaran roda gerobak tukang bakso yang biasa mangkal dikala sore hari tiba tepat di samping tukang tambal ban dengan kompresor berwarna oranye.
Ada hal yang dirasa telah hilang dihari pertama ia ditanamkan di makam itu. Ada keramaian yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di antara belantara padang ragut[1] yang berjanji akan melapukannya segera setelah angin dan kesunyian yang dikandungnya meresap ke dalam pori-porinya. Ada pekat debu jalanan yang tidak akan bisa ia temui lagi yang butir-butirnya suka menyentuh-nyentuhkan kotornya pada wajah anak kecil yang sedang menutupi kepalanya dengan tas sekolah karena siang itu sinar matahari begitu panas.
Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya pada bunga-bunga yang tumbuh diantara himpitan batang-batang ilalang; mengapa kamu selalu tersenyum? Bunga tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada batang ilalang yang tumbuh, ia memahami bahwa padang tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang boleh tumbuh di atasnya.
Batu nisan itu, ia hanya berharap bisa lebih dahulu hancur sebelum bunga-bunga itu layu berguguran. Ia menyerah saja pada angin yang tak pernah bisa diatur kemana ia harus berhembus. Ia menyerah saja pada kesunyian yang tak pernah bisa dibujuk untuk sedikit bersuara. Ia juga menyerah saja pada takdir yang telah mendifinisikan dirinya sebagai jasad yang tertanam tak seberapa jauh di bawah dirinya sendiri.
---o0o---
Jakarta, 12 Januari 2016
[1] Padang yang ditumbuhi rumput
Menyadur sebagian bait puisi karya Sapardi Djoko Damono; Kolam Di Pekarangan
---