Lihat ke Halaman Asli

Andri Sipil

Power Plant Engineer

Malam ini Ibu Kembali Pulang

Diperbarui: 1 Januari 2016   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sore ini hujan kembali turun. Airnya terasa lebih dingin dari kemarin. Begitu sejuk melumuri badan. Bahkan teduhnya sampai terasa ke hati. Jujur saja aku tak pernah bisa melewatkan hujan tanpa bermain-main dengannya. Berlarian di bawah riuh rintiknya.   

Tetesannya yang bertubi, mengetuk-ngetuk isi kepalaku. Membangunkan banyak cerita masa lalu. Hujan mengalir di atas keningku, turun ke batang hidung hingga kemudian berhenti tepat di ujung bibirku. Aku menghisapnya. Menelan butirannya yang bening. Ah rasanya amat segar. Dinginnya langsung memenuhi seluruh badan. Bersama angin dan seikat rasa kerinduan. Hujan selalu saja datang membawa kenangan. 

Hari telah gelap. Hujan turun semakin deras. Aku berbaring di atas ranjang bambu. Beralaskan kain batik lusuh milik ibu. Aku merapatkan sarung kotak-kotak pemberian nenek. Menepis hawa dingin yang merasuk secara diam-diam. Di antara banyak kenangan yang datang, ternyata hujan juga menawarkan sebuah kehangatan. Aku segera menariknya, memeluknya erat kedalam dekapan. Hujan telah membuat malam berjalan lebih lamban. Aku segera menutup mata, tak sabar bertemu lelap. Semoga malam ini aku bisa bertemu ibu.

***

Ibu menggendong tubuh kecilku. Saat itu umurku belum genap tiga tahun. Aku terlihat sedang menangis. Tangisanku begitu merengek. Ibu mendekapku erat. kemudian ia menciumi kening, pipi juga bibir mungilku. Ibu telah siap dengan dua buah tas besar. Meski aku masih terlalu kecil, saat itu aku sudah bisa menyadari rencana kepergiannya. Tak tahu ibu akan kemana. Namun dari caranya menciumiku, sepertinya ia akan pergi jauh meninggalkan rumah.   

Bapak kemudian merebut aku dari gendongan ibu. Aku meronta-ronta menolaknya. Bapak tetap saja memaksa. Ibu tiba-tiba saja menangis. Air matanya mulai berjatuhan. Ia menutup mulutnya. Menghalau suara tangisannya sendiri. Ia kemudian memalingkan wajahnya dariku. Dan bergegas bersama tasnya menuju pintu. Namun sebelum menjauh, ibu berbalik dan memandang ke arahku. Ia kembali menangis, kali ini dengan amat tersedu. Aku memanggil-manggil dirinya. Ia terus saja melangkah. Hingga tubuhnya menghilang ditelan gelap malam.       

***

Tujuh tahun sudah kepergian ibu. Kini usiaku hampir mencapai sepuluh tahun. Masih teringat dengan jelas malam terakhir aku menatap wajahnya. Aku kerap kali bertanya pada nenek. Kemana sebenarnya ibu pergi. Kenapa ibu tidak pernah pulang. Apa ia telah lupa pada kita. Apa ibu lupa pada diriku. 

“Nenek, aku sangat merindukannya. Tidakkah sudah terlalu lama ibu pergi. Aku bahkan mulai lupa pada raut senyum di wajahnya” 

Nenek memberitahuku bahwa ibu pergi bekerja di luar negeri. Ibu pergi ke Arab Saudi. Nenek hanya bilang itu saja. Nenek tak banyak bercerita. Sebagaimana diriku, nenek mungkin juga sangat rindu pada anaknya. Namun ia seperti enggan untuk membahasnya. Setelah itu aku tak pernah lagi bertanya tentang ibu padanya. Ah, seandainya saja menangis dapat melipat jarak. Barangkali sekarang aku sudah berada di hadapannya. Berdiri memandangi wajahnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline