Lihat ke Halaman Asli

Andri Sipil

Power Plant Engineer

Cerpen: “Black Box” untuk Revan

Diperbarui: 6 Oktober 2015   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia mengaku bernama Randi, tiba-tiba saja ia ada dihadapanku, entah mengapa ia selalu bicara mengenai temannya yang bernama Revan. Aku tak kenal mereka, tidak Randi apalagi Revan. Dipertemuan pertama kami ini, ia tidak menjelaskan dengan detail siapa dirinya dan untuk apa menemui aku. Ia malah memohon kepadaku untuk tidak banyak bertanya dan memintaku untuk mendengarkan ucapannya, ia juga bilang semua ini demi kebaikanku, kupikir apa hubungannya denganku?.

 “aku tahu kau tak mengenal siapa aku, tapi percayalah bahwa sebenarnya kita saling memahami” mendengar ucapannya dahiku makin mengernyit, kebingungan.

Randi duduk tepat dihadapanku, berumur sekitar 27 tahun, berwajah oriental, berkulit putih, berkemeja hitam lengan panjang, rambut kelimis disisir rapih kesamping dengan bagian pinggir yang dipotong lebih tipis. Tingginya kira-kira 175 cm, tercium wangi menyengat yang hampir membuatku tersedak, entah sudah berapa botol parfum yang telah ia tuangkan ke tubuhnya itu, cocok jadi sales produk parfum, celetuk hatiku.

Kepalaku dipenuhi oleh banyak pertanyaan tentang siapa sebenarnya Randi ini, namun kutunda karena permintaannya tadi. Kupikir nanti kalau sudah selesai aku akan menginterogasinya, dengan begitu aku juga tidak akan buang banyak energi untuk menginterupsi tiap perkataannya, terlebih karena sebenarnya aku juga merasa sedang tidak enak badan hari ini.

Kedengarannya ia memang sangat mengenal Revan, mungkin mereka sahabat dekat. Namun sejauh ini aku belum mendengar kemana atau dimana Revan berada. Kenapa ia membicarakan temannya itu denganku dan untuk apa, masih jadi pertanyaan besar dikepalaku. Ia hanya bercerita tentang bagaimana pribadinya, hal-hal kesukaannya, dan moment-moment kebersamaan mereka, barangkali temannya itu telah meninggal, dan ia sedang mencoba mengobati rasa dukanya dengan bercerita kepada orang lain, batinku.

Susunan katanya teratur dengan nada bicara yang terdengar cukup tenang & sopan, namun kadang juga terdengar ada sedikit kegetiran dalam tiap ucapannya, bahkan sesekali aku sempat melihat matanya berkaca-kaca, penuh haru. Pelan-pelan ia menjejali pikiranku dg sosok temannya itu, semua tentang ia, seolah aku harus mengenal siapa itu Revan.

“sangat suka dengan ice cream, terlebih cokelat almond” ucapnya sambil tersenyum .

“sangat takut dengan gelap, tapi aku tak tahu kenapa” kali ini wajahnya nampak sedih, lalu menunduk.

“senang main game online, jarang mandi, jorokkk...!” kali ini dia tertawa menatapku, aku dengan cepat menghindari tatapannya, canggung.

Nampaknya ia menyadari kecanggunganku, kemudian ia mengambil sesuatu dari handbag yang sedari tadi diletakannya dibawah, sebuah kotak hitam. Ukurannya sedang, terbuat dari kayu. Perlahan ia membukanya dan mencoba memperlihatkan isi kotak tersebut kepadaku. Ia berdiri dan mendekatiku, aku melihat benda seperti gel rambut, botol parfum dan  beberapa lembar photo ukuran postcard tertindih dibawahnya, aku dengan heran mengamati benda-benda tersebut, kemudian ia mencoba menyerahkan kotak tersebut padaku.

“untuk apa?” tanyaku heran

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline