Lihat ke Halaman Asli

Andri Samudra Siahaan

Menulis salah satu metode perjuangan.

Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS, Haruskah Kita Bahagia?

Diperbarui: 10 Maret 2020   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. BONEPOS.COM/INT

Pada tanggal 9 maret 2020  MA mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019 tentang jaminan kesehatan. Dalam Keputusannya MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020. Bagi para peserta BPJS ini tentu kabar baik, Bagaimana dengan pemerintah ?

Mentri Keungan sendiri telah menyatakan bahwa walaupun BPJS telah diberi suntikan dana sebesar 15 Trilyun pada tahun 2019  masih mengalami defisit sebesar 13 Trilyun . 

Jika kenaikan harga dibatalkan maka dapat dipastikan BPJS akan colapse. Sungguh Ironis, Padahal BPJS sendiri adalah satu-satunya  solusi terbaik bagi keadilan sosial untuk kesehatan rakyat.

Sistem gotong royong yang diterapkan BPJS adalah solusi terbaik bagi rakyat yang tidak mampu, Namun tidak diikuti kesadaran dari masing-masing individu pesertanya. 

Rakyat sepertinya hanya pintar dalam menuntut tapi lupa akan kesadaran peranannnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Seberapa besar masyarakat yang hanya mendaftar BPJS setelah butuh ? jumlahnya tidak kecil dan tidak hanya terbatas pada masyarakat golongan menengah kebawah saja tetapi juga masyarakat golongan menengah keatas.

Jujur saja diantara kita apakah ada yang mendaftar BPJS ketika sakit saja?  Dan para peserta asuransi kesehatan swasta juga menjadikan BPJS Sebagai solusi cadangan kedua . 

Ambil contoh untuk salah satu penyakit kritis yaitu Kangker. Untuk pengobatannya para pemakai asuransi memilih berobat keluar negeri sedang perawatan lanjutannya mereka menggunakan BPJS karena biaya kemoterapi bisa diperoleh gratis melalui BPJS. 

Buat sekali kemoterapi, biaya yang harus dikeluarkan rata-rata mencapai Rp 2 juta. Karena kemoterapi idealnya dilakukan 4 -- 12 kali, total biaya pengobatan ini mencapai Rp 8 juta -- Rp 24 juta. Cukup setarakah dengan pembayaran iuran Rp 80.000,- (kelas 1)? 

olahan pribadi penulis

Padahal klaim yang mereka peroleh bisa ratusan juta ataupu bahkan milyaran. Mirisnya mereka mendaftar setelah terkena penyakit  demi menghemat biaya kemoterapi ataupun radioterapi . 

Ditingkatan masyarakat golongan menengah kebawah juga melakukan hal yang sama dengan mendaftar ketika sakit tetapi setelah sembuh tidak membayar iuran. Alhasil penerimaan dan pengeluaran untuk Lembaga BPJS pun tidak seimbang. 

Untuk Kartu Indonesia Sehat (KIS) pemberiannya pun tidak dengan penuh keadilan, Seharusnya kartu ini diberkan kepada mereka yang benar-benar tidak mampu, tapi yang terjadi kartu kis ini pun sepertinya diberikan kepada orang-orang yang dekat dengan pejabat desa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline