Beberapa hari ini saya melihat sebuah sticker yang berisikan ajakan untuk melakukan aksi demonstrasi ke kantor gubernur dengan tujuan menolak kebijakan dari Gubernur Sumatera Utara yang hendak melakukan pemusnahan ternak Babi. Hal ini diawali oleh konsep yang sedang dipertimbangkan oleh Gubernur Edi Rahmayadi untuk memutus penyebaran virus African swine fever (ASF) alias demam babi Afrika yang menyebabkan kematian massal ternak babi di Sumatera Utara, hingga saat ini tidak ada obat maupun vaksin yang dapat menyembuhkannya.
Penyebaran virus ASF pun sudah menimbulkan banyak kerugian bagi seluruh peternak yang ada di Sumatera Utara, termasuk saya yang akhirnya banting stir setelah puluhan ekor ternak saya habis dalam hitungan 2 minggu.
Sedikit berbeda dari pendukung #SAVEBABI, jauh di lubuk hati saya malah bertanya kenapa Edi Rahmayadi membutuhkan waktu sebulan untuk melakukan tindakan pemusnahan masal babi setelah Kementerian Pertanian sendiri telah resmi mengakui kejadian ASF di Sumatera Utara melalui kepres Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019.
Sejak penyakit ini merebak di Dairi, pemerintah pusat dan daerah sepertinya berusaha menutupi wabah yang sedang menyerang saat itu dengan menyatakan wabah yang menyerang adalah Hog Cholera. Sumatera utara sendiri memiliki populasi lebih dari satu juta ekor. Demi melindungi kepentingan corporate besar yang mengekspor babi keluar negeri pemerintah tidak mendeklarasikan serangan ASF di Sumatera Utara.
Alhasil pengendalian pun tidak dilaksanakan dengan cepat, tiada sosialisasi pencegahan dan upaya memutus rantai wabah ASF. Perlahan tapi pasti sentra utama peternakan babi pun berjatuhan dimulai dairi Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir hingga Deliserdang.
Beredarnya isu serangan Hog Cholera tentu menyebabkan peternak hanya melakukan tindakan antisipatif dengan melakukan vaksin Hog Cholera dan melakukan sterilisasi kandang saja. Hal yang biasa dilakukan oleh peternak rumahan.
Kami tentu percaya kepada pemerintah yang awalnya mengumumkan bahwa serangan yang terjadi adalah Hog Cholera. Tapi apa daya setelah beramai-ramai melakukan vaksinasi terhadap ternak babi, serangan masih terus terjadi. Jutaan rupiah digunakan untuk membeli vaksin dan obat-obatan akan tetapi ternak tetap tidak bisa diselamatkan.
Perusahaan besar yang menjual obat-obatan dan vaksin Hog Cholera diprediksi mengalami keuntungan besar saat bencana itu terjadi. Produk mereka menjadi bahan buruaan ketika serangan wabah merebak, padahal vaksin dan obat-obatan mereka tidak berguna sama sekali untuk mencegah wabah ini. Perusahaan Peternakan besar tetap bisa melakukan eksport daging babi keluar negri tampa kendala isu ASF.
Mereka tentu tidak mengalami kerugian karena mereka memiliki antisipasi yang baik dalam melakukan pencegahan penyakit dengan prosedural yang ketat. Hingga saat ini saya tidak terdengar ada perusahaan peternakan besar yang mengalami masalah karena wabah ini kecuali perusahaan pakan yang mengalami penurunan omzet.
Masyarakat kecil yang tidak memiliki pemahaman yang baik di dalam melakukan sanitasi pencegahan penyebaran penyakit mengalami kerugian besar dan efeknya ternyata menimbulkan banyak anak yang putus sekolah. Hal ini saya ketahui dari seorang sahabat saya yang bercerita ketika hampir separuh muridnya di kelas tidak mampu membayar uang sekolah karena ternak orang tuanya mati. Dia mengajar disekolah swasta yang ada di Deliserdang kecamatan Sunggal.
Di sekolah itu kebanyakan muridnya adalah anak dari para peternak dan pemulung yang tinggal di kawasan Sukadono dan Tanjung Gusta salah satu kawasan marginal di Deliserdang. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana dengan daerah lain yang juga masyarakatnya mengandalkan kehidupan dari Ternak ini, berapa banyak anak yang terancam putus sekolah.