Setelah 69 tahun merdeka, Indonesia masih dicengkram budaya politik Jawa, yang sentralistik, menghimpun kekuasaan dan kekayaan yang tak terbatas, melanggar norma dan etika serta
mengorbankan banyak manusia.
Kini ada pemimpin baru yang dipilih "hanya dengan 40% suara pemilih dalam pemilu presiden 2014 secara logikanya, yang berkoalisi dengan partai kebangkitan bangsa, serta dituduh melakukan kecurangan secara masiv dan sistematis serta didukung media bayaran dan asing.
Adapun kekuatan koalisi adalah sekitar 60 % lebih di parlemen yang juga dipenuhi infiltrator, pekhianat, kaum pragmatis yang berusaha menyelamatkan diri dari jeratan hukum karena korupsi yang dilakukannya.
Budaya politik Jawa, tidaklah beda dengan Sunda atau Melayu, memang suku-suku di Indonesia memiliki kharakteristik yang sangat rentan dengan adu domba. Sementara dalam budaya yang dijunjung adalah norma serta etika , maka di era globalisasi ini dimana pergaulan pria wanita , sesama jenis, perjudian, narkoba, minuman keras sangat gencar dimasukkan dalam sanubari rakyat membuat asing gampang menjadikan budaya luhur menjadi budaya instan yang "menghalalkan segala cara, berbuat curang, korup dan menggunakan institusi militer serta kepolisisn sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menyerang oposan.
Dalam politik Jawa, dikenal "beda lidah dan beda hati, dimana lidah berbicara hati memungkiri, ini sudah biasa dan dijadikan alat untuk pembenaran sendiri dalam berpolitik.
Demikian juga kekuasaan menurut orang Jawa adalah sesuatu yang patut diperjuangkan "dengan segala cara, karena bagi orang Jawa (juga dalam budaya Melayu), kekuasaan adalah akses menuju gudang kenikmatan dunia, menuju pusat lumbung "harta, tahta, dan wanita" dimana menurut orang Jawa, jika mereka sudah duduk dalam kekuasaaan mereka akan menguasai seluruh harta negara, dan dilindungi oleh beking preman, militer dan kepolisian, serta hakim dan jaksa. Mereka merasa dilindungi, bermain korupsi dibalik tembok-tembok tebal kantor pemerintahan, dan menjadikan mereka kaya raya dan membuat ratusan tembok tebal berupa kondominium, apartemen, rumah mewah. Sementara rakyat yang tidak memperoleh kekuasaan, menjadi bulan-bulanan, jika mencuri roti akan diganyang sampai mati, sementara presidennya, pemimpinnya tiah hari curi uang ratusan juta tidak pernah diseret ke jalanan dan "digebugi sampai mati.
Jawa adalah prahara, prahara karena berkorban untuk tidak mengejar kekuasaan bar-bar, yang "disenangi asing yang mengincar harta kekayaan Nusantara, sehingga dijadikan adu domba asing dan juga negara asia seperti china yang sangat berkepentingan dengan sumber daya alam Indonesia.
Tetapi kenyataan membuktikan, bahwa hukum jahiliyah lah yang berlaku, dimana "sing ora edan ora keduman" adalah patokan bagi kaum koruptor beserta anak cucunya.
Jawa adalah kunci bagi kehancuran Indonesia, dan yang benar-benar bisa menghancurkan Jawa adalah Tuhan YME, pemilik gunung-gunung api di Jawa, dan kandungan lumpur magma dalam tanah Jawa yang siap meluluh lantakkan Jawa. Ini lebih terhormat dan bermartabat sehingga ada generasi baru yang diharapkan mampu menjaga Nusantara dengan keadilan, kejujuran serta kebijaksanaan yang beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H